Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP Amphuri
INILAH salah satu berita yang menarik perhatian saya sebagai ketua litbang Amphuri, berita terkait persiapan Haji 2026: “Petugas haji harus masuk barak militer dulu sebelum bertugas di Tanah Suci”. Wajib. Satu bulan penuh. Tidak bisa ditawar.
Baca juga: Hati-Hati dan Waspadalah, Haji Furoda 2026 Masih di Ambang Ketidakpastian
Dikutip dari IDN Times: “Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) akan melakukan transformasi besar dalam sistem perekrutan dan pelatihan petugas haji tahun 2026.
Salah satu terobosan utamanya adalah mewajibkan seluruh calon petugas haji untuk mengikuti pelatihan di barak militer selama satu bulan sebelum diberangkatkan ke Arab Saudi.”
Saya tidak tahu apakah ini terinspirasi dari pendidikan pasukan perdamaian PBB, atau terinspirasi film G.I. Jane yang pernah jadi tren di awal 2000-an. Yang jelas, ini pertama kalinya dalam sejarah haji Indonesia: petugas wajib “digembleng” ala militer.
Kata Dahnil Anzar Simanjuntak, Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji, seperti yang ditulis dalam IDN Times itu, bahwa ini bukan sekadar pelatihan fisik. Tapi ikhtiar pembentukan karakter. Kerja sama tim. Kedisiplinan. Dan tentu, bonding—alias kekompakan sesama petugas.
Saya bisa memahami semangat di balik gagasan ini. Kita sama-sama tahu bahwa masalah klasik petugas haji selama ini selalu dua: Pertama; Ada yang niatnya “nebeng haji”, artinya bukan niat melayani. Kedua; Ada yang tidak siap mental dan fisik saat bertugas. Akibatnya? Ada petugas yang hilang dari pos. Ada pula yang lebih rajin ambil foto dan bikin konten video dibanding menuntun jemaah ke arah toilet.
Nah, di sinilah titik tolaknya. Pemerintah ingin membentuk petugas yang punya jiwa korps. Disiplin. Kompak. Tahan banting. Dan—ini yang penting—tahu dan sadar bahwa dirinya sedang mengemban amanah pelayanan ibadah terbesar dalam rukun Islam.
Kalau untuk itu diperlukan pelatihan ala militer, saya tidak keberatan. Asal jangan berhenti di disiplin fisik. Karena medan pelayanan haji itu bukan medan perang, melainkan medan kasih sayang.
Bayangkan: 70% jamaah haji Indonesia adalah perempuan. Sebagian besar lansia. Banyak yang pertama kali ke luar negeri. Tidak menguasai bahasa Arab. Bahkan jalan pun mesti dipapah. Lalu siapa yang melayani mereka?
Kabar baiknya, BP Haji juga sedang memperbaiki proporsi petugas perempuan. Saat ini, petugas ibadah perempuan jumlahnya masih kalah jauh dibanding petugas yang laki-laki. Bahkan dalam satu kloter, kadang tidak ada satu pun pendamping ibadah perempuan.
Baca juga: Ahlan Wasahlan Kementerian Haji dan Umrah
Kalau jamaah laki-laki bingung soal manasik, bisa langsung bertanya ke petugas. Tapi jamaah perempuan sering sungkan, bahkan kesulitan menjangkau informasi yang paling dasar, misalnya soal: kapan haid, kapan suci, mana yang boleh ditunda, mana yang tidak.
Ini soal sensitivitas pelayanan. Dan saya senang mendengar bahwa ke depan, jumlah petugas perempuan akan ditambah. Saya harap bukan hanya dibuka kuotanya. Tapi juga dicari yang benar-benar paham ibadah. Bukan sekedar "ikut-ikutan" karena kuota gender sedang dikoreksi. Tapi karena niat berhidmat melayani tamu Allah di tanah suci.
Tentu saja, pelatihan militer selama sebulan tidak akan menjawab semua masalah. Karena masalah utama petugas haji bukan hanya soal mental dan fisik. Tapi soal niat dan sistem rekrutmen.
Kalau seleksi masih bisa disusupi “surat sakti” dari elite politik atau pejabat ormas, maka sehebat apa pun pelatihan barak militer, hasilnya akan tetap sama: pasukan yang rapi di luar, tapi keropos di dalam.
Jadi sebelum membentuk “pasukan petugas haji” ala militer, saya menyarankan satu hal: benahi dulu integritas sistem seleksi. Harus disadari sejak dini bahwa petugas yang malas dan oportunis bukan muncul dari medan, tapi dari meja seleksi yang longgar.
Berikan kesempatan kepada mereka yang memang ikhlas melayani. Yang punya pengalaman mendampingi jamaah. Yang bisa bicara dengan logika dan hati. Yang kalau melihat jamaah tersesat, refleksnya bukan cari kamera, tapi menunjukkan jalan.
Saya tidak ingin terlalu sinis. Karena saya tahu, ini adalah langkah maju. Bahkan bisa jadi langkah revolusioner. Tapi keberhasilan program ini bukan ditentukan oleh barak militernya. Melainkan oleh jiwa pelayanan yang ditanamkan di sana.
Apakah barak itu akan melahirkan petugas haji sejati—yang siap memikul beban spiritual dan sosial selama 40 hari di negeri orang? Atau hanya menjadi ajang seremonial disiplin—yang setelahnya kembali ke pola lama: selfie, shopping, dan setor laporan seadanya? Kita akan lihat bersama.
Tapi saya percaya, niat baik harus dikawal dengan cara yang benar. Karena melayani tamu Allah bukan tugas sembarangan. Dan tidak semua orang, meski punya pangkat atau gelar, layak menyandang tugas itu.
Editor : Alim Perdana