MUSIM haji tiba, harapan umat memuncak. Bagi sebagian umat Islam Indonesia yang belum berkesempatan berhaji melalui jalur reguler, visa mujamalah atau yang dikenal juga sebagai visa furoda, menjadi jalan alternatif.
Tapi seperti biasa, di setiap celah harapan, selalu muncul godaan: informasi palsu, kabar burung, hingga spekulasi yang “meyakinkan”.
Baca juga: Ketika Panggilan Itu Belum Sampai, Catatan dari Haji Furoda 2025
Beberapa hari terakhir ini, publik dikejutkan oleh beredarnya voice note di WhatsApp dan media sosial yang mengklaim bahwa Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama dan KBRI di Riyadh, telah menyepakati penerbitan 3.000 visa mujamalah dengan pemerintah Arab Saudi.
Kabar itu menyebar cepat. Banyak yang mempercayainya tanpa verifikasi. Banyak pula yang langsung "mencari jalan" untuk ikut serta.
Sebagai Ketua Litbang DPP AMPHURI, saya ingin menyampaikan kepada masyarakat secara terbuka bahwa: kabar tersebut belum terbukti benar.
Hingga artikel ini ditulis, belum ada konfirmasi resmi dari Pemerintah Arab Saudi terkait penerbitan visa mujamalah dalam jumlah besar sebagaimana disebutkan dalam voice note itu.
Bahkan, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag RI, Dr. Hilman Latief, yang kini berada di Arab Saudi, telah menyatakan secara tegas: belum ada informasi resmi dari otoritas Arab Saudi mengenai pembukaan visa furoda.
Kabar Ini Perlu Diwaspadai, Mengapa?
Visa mujamalah adalah jenis visa undangan khusus dari Pemerintah Arab Saudi, dan tidak termasuk dalam kuota resmi haji Indonesia.
Pengelolaannya berada di bawah otoritas Kerajaan Arab Saudi, bukan oleh Kementerian Agama RI. Oleh karena itu, setiap informasi mengenai visa ini harus dikonfirmasi langsung ke sumber yang sah.
Ini karena adanya kenyataan bahwa: banyak jemaah yang telah menjadi korban penipuan visa non-kuota di tahun-tahun sebelumnya. Mereka dijanjikan keberangkatan, dibebani biaya tinggi, tapi berakhir dengan kekecewaan.
Baca juga: Dari Fenomena Pencari Kerja Ada Pesan Kuat Buat Negara dan Penyelenggara Pendidikan
Ada yang batal berangkat, bahkan ada yang sempat dideportasi karena visa yang digunakan tidak sesuai jenis ibadah haji.
Sebagai organisasi penyelenggara haji dan umrah, AMPHURI terus mengimbau kepada seluruh PIHK anggota dan masyarakat umum untuk tidak mudah percaya terhadap informasi yang belum terbukti kebenarannya.
Apalagi jika informasi itu beredar dalam bentuk voice note anonim, tanpa sumber, tanpa nama, dan tanpa akurasi.
Bagaimana Menyikapi Informasi Haji
Sebagai bangsa yang mayoritas Muslim dan menjunjung nilai-nilai kejujuran serta tanggung jawab moral, kita perlu membangun budaya "tabayyun" dalam menerima informasi.
Terutama terkait ibadah sebesar haji. Jangan sampai niat ibadah yang suci dikotori oleh langkah-langkah yang tidak jujur atau gegabah.
Umat juga perlu dididik untuk tidak tergoda oleh narasi “jalur cepat” menuju Baitullah, apalagi jika informasi itu datang dari sumber tidak resmi. Sebab ibadah haji bukan hanya perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan spiritual yang harus dijalani dengan keikhlasan dan kejujuran.
Baca juga: Menjaga Marwah Diplomasi Indonesia dalam Isu Palestina-Israel
Penutup: Haji, Amanah yang Agung
Kami di AMPHURI meyakini bahwa ibadah haji adalah amanah yang sangat agung. Maka sudah semestinya seluruh pihak (termasuk pemerintah, PIHK, tokoh umat, dan media) bahu membahu dalam menjaga kesucian dan kejujuran dalam penyelenggaraannya.
Mari kita waspadai segala bentuk penyalahgunaan informasi, serta tidak membiarkan suara-suara anonim yang tidak dapat dipertanggungjawabkan mengambil alih ruang kepercayaan umat.
Bila kita tidak bisa mempermudah mereka untuk berangkat haji, setidaknya jangan kita memproduksi harapan palsu dengan menyebarkan ilusi dan kebohongan.
Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMPHURI
Ketua ICMI Jawa Timur
Editor : Alim Perdana