Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
BEBERAPA waktu terakhir, publik dikejutkan oleh pernyataan Presiden Prabowo Subianto, yang menyatakan bahwa Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika Israel mengakui kemerdekaan Palestina sebagai negara yang berdaulat.
Sebuah pernyataan yang strategis, namun pada saat yang sama, menggugah perasaan historis dan moral bangsa, khususnya umat Islam Indonesia.
Pernyataan tersebut, jika ditafsirkan secara terbuka, mengandung arah diplomasi baru yang (meskipun bersyarat) berpotensi dianggap sebagai perubahan posisi Indonesia terhadap entitas yang secara historis dan faktual merupakan penjajah atas tanah Palestina.
Sebagai bagian dari elemen masyarakat intelektual Muslim, ICMI Jawa Timur merasa perlu memberikan catatan kritis namun konstruktif, agar arah diplomasi Indonesia tetap sejalan dengan amanat konstitusi, nurani bangsa, dan suara umat.
Diplomasi yang Berakar pada Konstitusi
Dalam pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia telah meletakkan prinsip yang tak dapat ditawar: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Prinsip ini adalah pondasi moral dan arah kompas kebijakan luar negeri kita sejak awal berdiri.
Dari prinsip inilah kita menegaskan: Indonesia tidak memusuhi negara mana pun, tetapi berdiri tegas menentang segala bentuk penjajahan.
Dalam konteks Palestina-Israel, Israel jelas masih menduduki wilayah Palestina secara ilegal, sebagaimana ditegaskan berbagai resolusi PBB. Maka, sikap tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel adalah ekspresi keberpihakan kita kepada keadilan dan kemanusiaan.
Tidak Ada Urgensi Pengakuan
Pernyataan bahwa Indonesia akan mengakui Israel jika mengakui Palestina, secara diplomatik bisa dimaknai sebagai tawar-menawar dua arah. Namun faktanya, Israel sebagai entitas politik tidak membutuhkan pengakuan Indonesia untuk eksis. Sementara Palestina justru membutuhkan dukungan dunia agar haknya sebagai bangsa merdeka diakui dan dijamin.
Dengan demikian, tidak ada urgensi politik, hukum, atau moral bagi Indonesia untuk memberi pengakuan kepada Israel, apalagi menjadikan hal itu bagian dari syarat dalam proses perdamaian. Yang lebih relevan dan mendesak adalah terus menekan Israel, melalui forum internasional, untuk segera mengakhiri penjajahan dan memenuhi hak-hak bangsa Palestina.
Diplomasi yang Elegan adalah Tegas kepada Penjajahan
Elegansi diplomasi tidak selalu berarti moderasi. Dalam banyak kasus, elegansi justru ditunjukkan lewat konsistensi moral. Diplomasi yang elegan adalah diplomasi yang mampu menyampaikan pesan keadilan dengan cara yang tegas, berkelas, dan berakar pada nilai luhur bangsa.
Indonesia memiliki posisi moral yang unik di mata dunia Islam dan negara-negara Selatan (Global South). Konsistensi Indonesia dalam membela Palestina adalah aset diplomasi yang tidak ternilai, dan harus dijaga. Menawarkan pengakuan terhadap Israel, bahkan dalam konteks syarat tertentu, bisa merusak kredibilitas ini.
Dukungan Aktif bagi Palestina, Bukan Kompromi
Sebagai bangsa besar dengan prinsip yang jelas, Indonesia perlu melanjutkan diplomasi aktif untuk memperjuangkan Palestina. Tapi bukan dengan kompromi yang berisiko menyakiti nurani rakyat sendiri.
Kita bisa menjadi jembatan bagi dialog internasional, namun harus tetap berada di sisi korban penjajahan.
Di tengah arus normalisasi hubungan diplomatik beberapa negara dengan Israel, Indonesia justru berpeluang menjadi satu dari sedikit suara moral yang masih konsisten membela Palestina. Inilah posisi yang harus terus dipertahankan.
Pernyataan Presiden Prabowo tentu disampaikan dalam semangat mencari jalan damai. Namun, suara moral bangsa dan amanat konstitusi tetap harus menjadi dasar evaluasi dan pengawalan. Sebagai bagian dari masyarakat sipil, ICMI Jawa Timur berkomitmen mengingatkan, mengawal, dan menyuarakan nilai-nilai keadilan, kemerdekaan, dan solidaritas umat.
Diplomasi bukan hanya soal strategi, tapi lebih penting dari itu adalah soal marwah. Dan marwah Indonesia ada pada keberpihakan kita yang tegas terhadap yang tertindas, bukan yang menindas.
Editor : Alim Perdana