Oleh: Mochammad Fuad Nadjib
SETELAH menyerahkan kepemimpinan Pondok Pesantren Kebondalem kepada saudara iparnya, Kiai Mujri Dahlan, Kiai Muhtar Faqih—putra Kiai Faqih Maskumambang dan keponakan sekaligus menantu Kiai Dahlan—memfokuskan diri pada majelis ta'lim yang sebelumnya dipimpin Kiai Dahlan. Pendidikan keagamaan Kiai Muhtar didapat langsung dari ayahnya.
Baca juga: Mengenal KH Muhammad Ahyad, Pendiri Pondok Pesantren Kebondalem Surabaya
Sekitar tahun 1960-an, KH. Mukhtar Faqih menjabat sebagai takmir Masjid Agung Sunan Ampel. Pada tahun 1958, masjid tersebut mengalami perluasan, yang dikenal sebagai "masjid gantung" (tempat salat rawatib). Pembangunan di atas makam kuno ini memicu perdebatan di kalangan ulama Ampel.
Mayoritas mengizinkan, namun KH. Mukhtar Faqih termasuk yang keberatan karena meyakini salat di atas makam tidak sah. Oleh karena itu, beliau selalu melaksanakan salat Jumat di Waru, Sidoarjo, bukan di Masjid Agung Sunan Ampel, yang dianggapnya sebagai satu-satunya masjid jami' di Surabaya.
Setelah pembangunan Al-Ulumus Salafiyah selesai, majelis ta'lim dipindahkan ke sana. Pengajian yang dipimpin Kiai Muhtar dihadiri beberapa kiai Bangkalan (santri Kiai Kholil Bangkalan) yang sebelumnya juga mengikuti pengajian Kiai Dahlan. Pembangunan fisik Al-Ulumus Salafiyah dimulai tahun 1974 dan diresmikan tahun 1976.
Majelis ta'lim berlangsung setelah Subuh hingga sekitar pukul 08.00. Setelah pengajian, Kiai Muhtar bekerja sebagai Ketua Pengadilan Agama Surabaya, dan malam harinya mengisi pengajian keliling di rumah warga.
Awalnya, pesantren ini diperuntukkan bagi masyarakat umum. Namun, Kiai Muhtar berpandangan bahwa pesantren perlu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Beliau menekankan pentingnya penguasaan ilmu pengetahuan umum selain ilmu agama, agar santri tidak tertinggal. Beliau juga ingin memfasilitasi mahasiswa yang ingin memperdalam ilmu agama.
Baca juga: LAZISNU Surabaya Launching Majalah Nusura dan Gelar Festival Manajemen Qurban 1446 H
Oleh karena itu, setelah Al-Ulumus Salafiyah berdiri, banyak mahasiswa, terutama dari IKIP PGRI Surabaya (Pecindilan) yang berasal dari luar kota, menjadi santri.
Kiai Zaky Ghufron turut membantu pembangunan pesantren ini, bercita-cita menjadikan Al-Ulumus Salafiyah sebagai pusat literatur keagamaan. Namun, cita-cita ini tidak terwujud karena Kiai Muhtar wafat pada tahun 1979.
Setelah wafatnya Kiai Muhtar—yang juga menjabat sebagai Rais Syuriyah PCNU Surabaya sejak 1965—para kiai NU Surabaya meneruskan majelis ta'lim secara bergantian, termasuk Kiai Tohir Syamsuddin, Kiai Hamid Siradj, Kiai Khamim, Kiai Abdul Hafid, Kiai Bisyri Al-‘Ali (Mojokerto), dan Kiai Miftahul Akhyar (saat ini Rais Aam PBNU) hingga akhir 1980-an.
Meskipun kedua pesantren ini kini seolah berhenti beroperasi, warisan pendidikan Kiai-kiai Kebondalem tetap berlanjut melalui santri-santrinya yang mendirikan pesantren baru.
Anak cucu KH. Ahyad pun aktif berkiprah di NU dan masyarakat luas. Hal ini menunjukkan bahwa amal jariyah ilmu KH. Ahyad, Kiai Dahlan, Kiai Muhtar, Kiai Mujri Dahlan, dan Kiai Hadi Dahlan tetap lestari meskipun pesantren-pesantren tersebut tidak lagi aktif.
Editor : Alim Perdana