Ketua Dewan Pers: Buzzer, Youtuber, dan Influencer Tidak Bisa Gantikan Peran Pers Profesional

Reporter : Ali Masduki
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, saat membuka gelaran APFI 2025 yang digelar di Loji Gandrung, Solo, Jumat (25/4/2025). Foto: Ali Masduki

SOLO – Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyampaikan pernyataan yang mendalam mengenai kondisi pers di Indonesia saat ini. Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap penurunan indeks kemerdekaan pers dan meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis.

Selain itu, Ninik juga menyoroti penggunaan buzzer, YouTuber, dan influencer oleh pemerintah sebagai alat membangun opini publik, yang menurutnya tidak bisa menggantikan peran media pers profesional.

Baca juga: APFI 2025 Digelar di Solo, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu: Jurnalistik Foto Tidak Akan Pernah Mati

"Sungguh luar biasa ada ribuan gambar potret peristiwa visual kehidupan demokrasi kita. Potret kehidupan kemiskinan masih ada di Indonesia. Potret secara visual berbagai bentuk ketidakadilan," ujar Ninik, mengapresiasi kerja keras para pewarta foto dalam mendokumentasikan berbagai peristiwa penting di Indonesia.

Namun, di balik apresiasi tersebut, Ninik mengekspresikan kekhawatirannya. Ia mencatat penurunan indeks kemerdekaan pers selama dua tahun terakhir dan peningkatan angka kekerasan terhadap jurnalis.

"Harus diakui pemerintah kadangkala ikut menggunakan bukan media pers untuk membangun pengetahuan publik atau melakukan kontrol sosial tapi pakai buzzer, YouTuber, influencer," ungkap Ninik saat membuka Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) ke-15 yang digelar di Loji Gandrung, Solo, Jumat (25/4/2025).

Ninik menuturkan bahwa investasi terbaik dalam jangka panjang adalah menghadirkan pers yang terikat kode etik dan mengedepankan fakta serta kebenaran.

"Padahal kalau berpikir strategis dalam 10 sampai 50 tahun ke depan, investasi terbaik justru menghadirkan pers karena pers bukan hanya membangun opini tapi menyampaikan fakta, kebenaran, informasi, hiburan, kontrol sosial, meletakkan kebenaran sebagai tulang punggung informasi kepada masyarakat, berpegang teguh pada kode etik," jelasnya.

Baca juga: Dewan Pers Imbau Hindari Permintaan THR Atas Nama Media Jelang Lebaran

Perbedaan mendasar antara media pers dengan buzzer, YouTuber, dan influencer menurut Ninik adalah adanya kode etik yang jelas.

Media pers mengedepankan fakta dan kebenaran, sementara buzzer, YouTuber, dan influencer seringkali menyebarkan misinformasi atau disinformasi tanpa terikat kode etik yang jelas. Hal ini dapat merusak ekosistem digital dan merugikan bangsa dalam jangka panjang.

"Kode etiknya hampir tak ada sehingga seringkali disebarkan misinformasi atau disinformasi, sengaja merusak ekosistem digital sehingga ruang media sosial gaduh penuh informasi menyesatkan, jangka panjang merugikan bangsa," tegas Ninik.

Baca juga: Inilah Sembilan Anggota Dewan Pers Periode 2025-2028

Ninik berharap pemerintah dapat lebih bijak dalam memanfaatkan teknologi dan media sosial. Investasi pada pers, menurutnya, jauh lebih strategis dalam jangka panjang dibandingkan dengan penggunaan buzzer, YouTuber, dan influencer.

Ia juga menegaskan pentingnya perlindungan terhadap jurnalis dan penegakan kode etik jurnalistik.

"Hakikat demokrasi memerlukan partisipasi semua orang, setuju ataupun tidak setuju semuanya harus mendapat ruang sama," tutup Ninik, seraya memberikan apresiasi kepada para pewarta foto atas dedikasi dan profesionalisme.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru