Oleh: Ulul Albab
Cendekiawan Muslim, Ketua ICMI Jawa Timur
PESTA demokrasi di Indonesia kini terasa seperti pesta mewah di rumah yang sedang kesulitan ekonomi. Setiap lima tahun sekali, negara menggelontorkan triliunan rupiah untuk membiayai pemilu dan pilkada.
Baca juga: Indonesia di Persimpangan Demokrasi: Antara Rekonsiliasi Elite, Loyalitas Ganda, dan Represi Kritis
Sebagai perbandingan, Pemilu 2024 menelan biaya hampir Rp76 triliun, belum termasuk dana kampanye yang dikucurkan oleh para calon dari kantong pribadi atau sponsor politik.
Pertanyaannya: Mengapa demokrasi menjadi sangat mahal? Dan apakah ada jalan untuk menyederhanakan prosesnya tanpa kehilangan esensi demokrasi itu sendiri?
Refleksi Sejarah: Orde Baru dan Hematnya Demokrasi
Tidak semua warisan Orde Baru patut dilestarikan, tetapi tidak semua pula pantas untuk dibuang. Salah satu hal yang patut dicermati adalah efisiensi sistem pemilihan di masa itu.
Meski penuh keterbatasan dalam hal partisipasi politik dan kebebasan sipil, biaya demokrasi relatif sangat rendah.
Pemilu cukup dilakukan dalam satu hari, tanpa rangkaian kampanye berbiaya tinggi, tanpa baliho yang menyemut, dan tanpa perang buzzer yang menguras akal sehat publik.
Negara mengendalikan hampir semua proses, dan “kemenangan” sudah hampir bisa dipastikan. Meskipun tidak ideal dari sisi keterbukaan, sistem tersebut hemat dalam pelaksanaan.
Namun, apakah kita ingin kembali sepenuhnya ke model itu? Tentu tidak. Demokrasi yang sehat adalah yang menjamin partisipasi rakyat, kebebasan berpendapat, dan pergantian kekuasaan yang transparan. Tapi, apakah demokrasi harus selalu mahal? Jelas tidak.
Reformasi Mekanisme, Bukan Nilai
Demokrasi bukan pada mahalnya biaya, tapi pada mekanismenya. Kita bisa belajar dari negara-negara seperti Jerman dan Finlandia, yang mampu menjalankan demokrasi secara efisien dan efektif.
Di Jerman, sistem parlementer yang mapan membuat biaya kampanye sangat terkontrol. Pemerintah menyediakan dana publik bagi partai politik secara proporsional berdasarkan hasil suara di pemilu sebelumnya. Dana ini digunakan untuk membiayai kegiatan politik, pendidikan pemilih, dan operasional partai.
Baca juga: Ketum DPP LDII Ajak Jadikan Idul Fitri untuk Benahi Demokrasi dan Akhlak Bangsa
Dengan demikian, ketergantungan pada dana pribadi atau sponsor politik dapat dikurangi secara signifikan. Selain itu, Jerman memiliki aturan pembatasan kampanye yang ketat baik durasinya, media yang digunakan, hingga pengeluaran maksimal yang diperbolehkan (bpb.de, 2023).
Sementara itu, di Finlandia, sistem pemilu dijalankan dengan sederhana, efisien, dan berorientasi substansi. Kampanye politik di Finlandia sangat bersahaja tanpa baliho raksasa, arak-arakan, atau konser massa. Penekanan utama ada pada debat publik, media arus utama, dan kanal daring.
Biaya pemilu pun ditekan seminimal mungkin. Digitalisasi sistem pemilu, termasuk daftar pemilih elektronik dan perhitungan suara digital, menekan biaya logistik secara drastis (Ministry of Justice Finland, 2022).
Menurut laporan International IDEA (2023), biaya penyelenggaraan pemilu di Finlandia hanya sekitar 10% dari rata-rata negara berkembang, namun dengan indeks demokrasi dan kepuasan publik yang sangat tinggi.
Dari dua contoh ini kita belajar: demokrasi bisa murah, jika rakyat cerdas, elite sadar, dan sistem transparan.
Mengalihkan Anggaran Politik untuk Rakyat
Bayangkan jika sebagian dari Rp76 triliun biaya pemilu bisa dialihkan untuk:
Baca juga: Penyandang Disabilitas Gunakan Hak Pilih di PSU Magetan
Membangun 5.000 sekolah baru, Menyediakan beasiswa penuh bagi 1 juta pelajar miskin, Membiayai layanan kesehatan gratis di seluruh desa terpencil, Atau memperkuat subsidi pangan dan energi bagi rakyat bawah.
Anggaran pemilu yang boros adalah ironi ketika rakyat masih mengantre beras murah dan pelayanan kesehatan dasar masih terbatas. Demokrasi harus kembali ke ruhnya: mensejahterakan rakyat, bukan menyuburkan elite.
Bukan Soal Mundur, Tapi Soal Menata Ulang
Menyerukan demokrasi hemat bukan berarti ingin kembali ke masa otoritarianisme. Ini bukan romantisme Orde Baru. Yang dibutuhkan bukan kemunduran sistem, tapi penataan ulang tata kelola demokrasi agar lebih fungsional, terjangkau, dan berorientasi pada pelayanan publik.
Boleh jadi saatnya kita berpikir serius: bukan soal menghapus demokrasi, tetapi menghematnya. Bukan soal kembali ke Orde Baru, tapi mengambil ibrah dari efisiensinya tanpa meninggalkan nilai-nilai reformasi.
Sebagaimana kata Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, “Democracy is not a luxury it is essential. But it does not have to be extravagant.” (Sen, 1999)
Editor : Alim Perdana