ayojatim.com skyscraper
ayojatim.com skyscraper

Kemiskinan dan Ketimpangan Jawa Timur 2025, Menakar Ulang Dampak Pertumbuhan

avatar Ulul Albab
  • URL berhasil dicopy
Foto/Ali Masduki
Foto/Ali Masduki

Oleh Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

DI TENGAH optimisme ekonomi Jawa Timur pada 2025, diskusi mengenai kemiskinan, ketimpangan, dan program perlindungan sosial tetap menjadi agenda yang tidak boleh terlewatkan.

Pertumbuhan ekonomi memang menunjukkan tren positif, tetapi pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah pertumbuhan itu benar-benar menetes ke bawah?

Analisis terhadap data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa capaian Jawa Timur cukup signifikan, tetapi pada saat yang sama data juga mengungkapkan pekerjaan rumah yang tidak kecil.

Di sinilah ICMI Jawa Timur merasa perlu menghadirkan “pembacaan” yang jernih dan berbasis data, sebagai pijakan evaluasi dan perumusan kebijakan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Kemiskinan: Menurun, tetapi Masih Lebih Tinggi dari Nasional

Pada Maret 2025, tingkat kemiskinan Jawa Timur tercatat 9,50 persen, turun dari 9,79 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Jika dilihat sebagai tren, angka ini merupakan kabar baik, menandai perbaikan kondisi ekonomi rumah tangga, terutama setelah periode tekanan inflasi 2022–2023.

Namun, capaian ini tetap perlu dibaca secara proporsional. Tingkat kemiskinan Jatim masih berada di atas rata-rata nasional yang sebesar 8,47 persen, sehingga menandakan adanya ketertinggalan struktural dibanding provinsi-provinsi dengan karakter ekonomi yang relatif serupa.

Jumlah penduduk miskin Jawa Timur sekitar 3,88 juta jiwa, masih merupakan beban sosial yang besar. Angka tersebut merepresentasikan jutaan keluarga yang hidup di batas kecukupan, menghadapi persoalan pangan, layanan kesehatan dasar, dan akses pendidikan bagi anak-anak mereka.

Ketimpangan: Relatif Lebih Baik, tetapi Variasi Daerah Tinggi

Indikator ketimpangan pengeluaran melalui Gini Ratio menunjukkan posisi Jawa Timur pada angka 0,369, sedikit lebih rendah dibanding angka nasional 0,375. Dalam perspektif pemerataan, capaian ini menggambarkan distribusi pengeluaran yang relatif lebih baik.

Namun, variasi ketimpangan antarwilayah masih tinggi. Kawasan perkotaan menunjukkan Gini Ratio 0,383, menandakan jurang konsumsi antara kelompok atas dan bawah yang lebih lebar.

Sebaliknya, daerah perdesaan berada pada posisi lebih merata (0,326), tetapi angka kemiscinan di wilayah rural tetap lebih tinggi.

Kondisi ini menegaskan bahwa persoalan ketimpangan tidak dapat dipandang sebagai satu angka provinsi. Tapi merupakan gambaran mozaik kesenjangan antar kabupaten/kota, yang memerlukan strategi intervensi berbeda, tergantung karakter sosial-ekonomi masing-masing wilayah.

Perlindungan Sosial: Perlu Integrasi

Pemerintah pusat sepanjang 2025 terus memperluas program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Di tingkat provinsi, Pemprov Jawa Timur menambah anggaran perlindungan sosial sekitar Rp43,19 miliar melalui PAPBD 2025.

Ekspansi ini patut diapresiasi, terutama karena mencakup tambahan sekitar 24.000 keluarga penerima manfaat. Tetapi persoalan efektivitas penargetan masih muncul di lapangan.

Akurasi data penerima kerap tidak sejalan antara sistem pusat dan daerah. Hal ini berpotensi membuat keluarga yang sudah tidak miskin tetap menerima bantuan, sementara keluarga yang berada pada situasi rentan belum sepenuhnya terjangkau.

Pada titik inilah perlindungan sosial menghadapi tantangan kualitas tata kelola. Jadi bukan sekadar jumlah alokasi anggaran.

Empat Catatan Kritis untuk Arah Kebijakan

ICMI Jawa Timur memandang setidaknya terdapat empat catatan penting untuk memastikan bahwa agenda penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan berjalan lebih efektif:

1. Penguatan Basis Data Terpadu: Konsolidasi data kemiskinan dan kerentanan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota harus diprioritaskan. Tanpa data yang konsisten, program intervensi rentan tidak tepat sasaran.

2. Integrasi Bansos dengan Pemberdayaan: Bantuan sosial sebaiknya dihubungkan dengan program peningkatan kapasitas, vokasi, akses permodalan, serta fasilitasi pasar bagi UMKM dan petani kecil.

3. Transparansi dan Pengawasan Sosial: Pemerintah daerah perlu membuka dashboard keterbukaan data penerima bansos, alokasi anggaran, dan capaian outcome secara real-time. Mekanisme audit publik akan memperkuat akuntabilitas.

4. Penajaman Wilayah Prioritas: Program padat karya skala lokal serta pembangunan infrastruktur dasar di kantong kemiskinan harus diarahkan pada wilayah dengan beban kemiskinan tertinggi.

Penutup

Kemiskinan dan ketimpangan di Jawa Timur pada 2025 memperlihatkan dua sisi wajah Pembangunan, yaitu: perbaikan yang nyata, tetapi sekaligus kesenjangan yang masih menganga. Tantangan terbesar bukan hanya soal menurunkan angka kemiskinan, tetapi memastikan bahwa mobilitas sosial warga berlangsung secara adil dan merata.

Analisis data menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan tidak boleh hanya dinilai dari capaian makro, tapi dari sejauh mana kebijakan benar-benar menyentuh kehidupan keluarga yang berada di batas kesejahteraan.

Dengan demikian, Jawa Timur membutuhkan kebijakan yang tidak hanya cepat, tetapi juga tepat. Menyasar inti persoalan dan memastikan keberlanjutan bagi generasi berikutnya.

 

Editor :