Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
MAHKAMAH Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan perkara 114/PUU-XXIII/2025 untuk seluruhnya terhadap gugatan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) terkait kedudukan anggota polisi di jabatan sipil.
Hakim konstitusi Ridwan Mansyur berpandangan, frasa "mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian" adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota Polri untuk menduduki jabatan sipil.
Putusan Mahkamah Konstitusi kemarin itu seperti mengetuk pintu yang selama ini dibiarkan setengah terbuka. MK menutupnya rapat-rapat. Tidak boleh lagi polisi aktif duduk manis di jabatan sipil. Titik.
Selama ini ada frasa kecil dalam UU Polri yang bunyinya tampak manis: “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”. Kecil. Sepele. Tapi daya rusaknya, kata MK, luar biasa besar.
Dengan frasa itu, seorang polisi aktif bisa melangkah ke jabatan sipil tanpa melepas seragamnya. Setengah polisi. Setengah pejabat sipil. Dua kaki di dua dunia. Dan itu, kata MK, “menimbulkan ketidakpastian hukum”.
Kita tahu, ketidakpastian hukum adalah penyakit lama negeri ini. Tapi kali ini obatnya datang dari MK. Polisi yang ingin berkarier di jabatan sipil harus undurkan diri atau pensiun. Tidak ada lagi jalan tikus.
“Pilih salah satu,” kata MK. Dan itu, menurut saya, kalimat paling sehat yang keluar di tahun politik ini.
Putusan MK ini, dari kacamata yang lebih luas, sebenarnya memperbaiki napas reformasi Polri yang sempat megap-megap. Sudah lama kita bicara tentang profesionalisme kepolisian. Tentang netralitas. Tentang etika. Tentang conflict of interest.
Tapi di lapangan, justru Polri-lah yang paling sering dipanggil masuk ke lembaga sipil ketika negara merasa bingung. Negara seperti terlalu percaya pada polisi, dan kurang percaya pada dirinya sendiri.
Negara yang sehat tidak boleh terus menerus memakai Polri sebagai cadangan segala urusan. Polisi itu punya mandat sendiri: menjaga masyarakat, bukan mengurus BUMN; menegakkan hukum, bukan mengatur tender; melindungi warga, bukan mengepalai dinas pemerintahan.
Dengan putusan ini, Polri bisa kembali berdiri tegak. Tidak lagi sebagai institusi serba bisa, tetapi sebagai institusi yang fokus.
Lalu bagaimana dengan ratusan polisi yang kini sedang duduk di jabatan sipil? Ya, mereka harus memilih: kembali ke markas, atau melepas pangkat dengan terhormat.
Tidak mudah, tentu. Tapi justru itulah ukuran integritas. Jabatan sipil bukan hadiah. Bukan juga tempat bersandar. Jabatan sipil adalah amanah. Sama dengan amanah polisi. Dan tidak ada orang yang boleh memegang dua amanah sekaligus dengan risiko berat pada publik.
Putusan MK ini bukan hukuman bagi polisi. Ini justru hadiah. Kesempatan untuk menjadi lebih mulia. Lebih bersih. Lebih dihormati.
Editor : Alim Perdana