Krisis Interaksi Nyata Gen Z di Era Digital

avatar ayojatim.com
Ilustrasi (pinterest)
Ilustrasi (pinterest)

AYOjatim.com - Generasi Z merupakan kelompok yang lahir dan tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital. Mereka dikenal sangat mahir menggunakan media sosial, aplikasi pesan instan, serta berbagai platform digital lainnya sejak usia dini.

Kemudahan akses informasi dan komunikasi tanpa batas memberi banyak keuntungan bagi generasi ini, mulai dari memperluas jaringan sosial hingga mempermudah proses belajar. Informasi dari seluruh dunia bisa diakses hanya dengan satu klik, dan berbagai inovasi digital membantu mereka beradaptasi cepat terhadap perubahan lingkungan.

Namun, di balik kemudahan itu, muncul kekhawatiran bahwa teknologi digital justru menjauhkan Generasi Z dari makna interaksi nyata dan kedekatan emosional. Padahal, keduanya merupakan aspek penting dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan sosial yang sehat.

Menurut laporan yang dikutip dari Pew Research Center, intensitas penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menurunkan kualitas hubungan interpersonal dan meningkatkan risiko kesepian di kalangan remaja digital. Fenomena ini menunjukkan bahwa kehadiran teknologi tidak selalu sejalan dengan peningkatan kualitas komunikasi manusia.

Interaksi digital memang menawarkan komunikasi yang cepat dan praktis, tetapi sering kali bersifat dangkal dan minim kedalaman emosi. Pesan teks, emotikon, atau unggahan di media sosial hanya mampu merepresentasikan sebagian kecil dari ekspresi komunikasi manusia.

Dalam banyak kasus, perasaan seseorang sulit terdeteksi hanya melalui layar. Misalnya, seorang teman yang aktif membalas pesan bisa jadi sedang merasa kesepian, namun hal itu tak mudah dikenali secara virtual. Akibatnya, Generasi Z rentan mengalami kesalahpahaman, berkurangnya empati, hingga rasa keterasingan di tengah dunia yang serba terhubung.

Lebih dari itu, kebiasaan multitasking digital yang melekat pada Generasi Z turut mengganggu kemampuan mereka untuk fokus dan sepenuhnya hadir dalam interaksi nyata. Ketika berada dalam satu ruangan bersama teman, perhatian sering terbagi antara percakapan langsung dan notifikasi di ponsel.

Kondisi tersebut menurunkan kualitas komunikasi dan mempersempit kesempatan membangun hubungan yang kuat. Nilai-nilai komunikasi interpersonal seperti kontak mata, bahasa tubuh, serta kehangatan suara perlahan terkikis karena terlalu bergantung pada komunikasi berbasis layar. Jika dibiarkan, hal ini berpotensi melemahkan kemampuan sosial mereka di masa depan, baik dalam dunia kerja maupun dalam hubungan personal.

Meski demikian, pandangan negatif terhadap dampak teknologi pada Generasi Z tidak sepenuhnya benar. Masih ada peluang besar bagi generasi ini untuk menemukan kembali makna interaksi sosial yang sejati. Dilansir dari Harvard Business Review, keseimbangan antara aktivitas daring dan komunikasi langsung dapat meningkatkan kemampuan empati, kolaborasi, serta kreativitas anak muda di lingkungan sosial maupun profesional.

Peran keluarga dan lembaga pendidikan menjadi kunci penting dalam proses ini. Orang tua dan guru perlu memberi teladan nyata mengenai pentingnya berinteraksi secara langsung, mendorong anak muda untuk meluangkan waktu tanpa gawai, serta menciptakan ruang kebersamaan yang memperkuat hubungan emosional. Kegiatan seperti diskusi kelompok, kegiatan sosial, atau sekadar makan bersama tanpa ponsel dapat menjadi langkah sederhana namun efektif dalam membangun kedekatan antarmanusia.

Generasi Z mungkin tumbuh di era digital, tetapi mereka tetap manusia yang membutuhkan hubungan emosional yang tulus dan nyata. Teknologi seharusnya menjadi alat bantu, bukan penghalang, dalam memperkaya kualitas komunikasi. Membangun keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata adalah kunci agar Generasi Z tidak kehilangan makna sejati dari hubungan antarsesama yakni kehadiran, empati, dan rasa saling menghargai.

Penulis: Safa Claresta (Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)

Editor : Alim Perdana