Krisis Empati di Media Sosial: Ketika Kebebasan Berpendapat Kehilangan Nurani

avatar ayojatim.com
Ilustrasi
Ilustrasi

AYOJatim.com - Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap hari, jutaan orang berbagi cerita, opini, dan informasi melalui berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter). Namun, di balik kemudahan berkomunikasi dan akses tanpa batas, muncul fenomena yang mengkhawatirkan seperti menurunnya rasa empati di antara pengguna. Banyak orang lebih cepat menghakimi daripada memahami, lebih senang berdebat daripada mendengarkan.

Ruang yang seharusnya menjadi tempat bertukar pikiran justru sering berubah menjadi arena saling serang. Fenomena ini menunjukkan bahwa di tengah konektivitas yang semakin luas, manusia justru semakin kehilangan kedekatan emosional satu sama lain.

Media sosial membuat semua orang merasa bebas berpendapat. Kebebasan ini memang penting, tetapi tanpa disertai kesadaran moral, dapat menimbulkan dampak negatif. Banyak pengguna yang dengan mudah melontarkan kata-kata kasar, menyebar kabar tanpa verifikasi, bahkan menertawakan kesedihan orang lain.

Di media sosial, sering terlihat kasus perundungan digital (cyberbullying) yang menyebabkan korban mengalami stres, depresi, bahkan memilih mengakhiri hidupnya. Semua ini berawal dari kurangnya empati ketidakmampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain.

Selain itu, algoritma media sosial juga dapat memperparah situasi. Platform digital cenderung menampilkan konten yang memicu emosi tinggi agar pengguna lebih lama bertahan di aplikasi. Akibatnya, konten yang berisi kemarahan, provokasi, dan kontroversi lebih cepat viral dibanding pesan-pesan positif. Tanpa sadar, pengguna terbiasa bereaksi cepat dan impulsif terhadap isu, tanpa sempat memahami konteks atau perasaan orang lain.

Untuk mengatasi krisis empati ini, diperlukan upaya bersama antara individu, keluarga, dan lembaga pendidikan. Orang tua perlu memberikan contoh dalam menggunakan media sosial dengan bijak, misalnya dengan tidak ikut menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian. Sekolah juga dapat mengajarkan literasi digital dan etika berkomunikasi daring sejak dini, agar generasi muda tidak tumbuh menjadi pribadi yang acuh terhadap sesama.

Selain itu, setiap individu harus mulai melatih kesadaran diri. Sebelum menulis komentar atau membagikan sesuatu, Apakah ini bisa menyakiti orang lain? Apakah saya sudah memahami situasinya dengan benar? Langkah sederhana ini bisa menjadi awal untuk menumbuhkan kembali rasa empati di dunia maya.

Penulis: Abdi Putra Pratama

Editor : Amal Jaelani