Makan Bergizi Gratis: Antara Konten dan Konteks

H. Irwan Setiawan, S.IP, M.AP
H. Irwan Setiawan, S.IP, M.AP

Oleh: Irwan Setiawan,
Mahasiswa Program Doktoral Administrasi Publik Universitas Hangtuah Surabaya

Anggota DPRD Jatim Periode 2009 - 2014 dan 2014 - 2019

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu agenda utama pemerintah baru disambut dengan penuh antusiasme.

Tidak mengherankan, sebab gagasan memberi makanan bergizi untuk anak sekolah, santri, balita, dan ibu hamil jelas berpihak pada rakyat.

Ia mengusung visi mulia: melawan stunting, meningkatkan kualitas SDM, sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat melalui produksi pangan lokal.

Namun, pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan publik yang baik di atas kertas tidak selalu berjalan mulus di lapangan.

Banyak kebijakan di masa lalu yang gagal bukan karena visi atau tujuannya salah, melainkan karena persoalan implementasi. Inilah yang patut kita waspadai sejak awal dalam pelaksanaan MBG.

Dari sisi konten (isi kebijakan), MBG memiliki landasan yang kuat. Pertama, ia berbasis pada kebutuhan nyata: masalah gizi buruk dan stunting yang masih menghantui jutaan anak Indonesia.

Data resmi mencatat, prevalensi stunting nasional turun dari 21,5 persen (2023) menjadi 19,8 persen (2024). Meski terjadi perbaikan, angka ini masih jauh dari target 14,2 persen pada 2029.

Kedua, manfaat MBG jelas dan langsung dirasakan, yakni peningkatan asupan gizi harian bagi kelompok rentan.

Ketiga, ada dukungan anggaran yang besar. Pada 2025, anggaran MBG dialokasikan Rp71 triliun, dan melonjak menjadi Rp335 triliun pada 2026—hampir 44,2 persen dari total anggaran pendidikan Rp757,8 triliun.

Program ini ditargetkan menjangkau 82,9 juta penerima manfaat dengan sekitar 30.000 dapur layanan gizi (SPPG) di seluruh Indonesia.

Dengan konten seperti ini, MBG bisa disebut sebagai kebijakan progresif. Ia sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama tujuan “zero hunger” dan peningkatan kesehatan.

Namun, kebijakan publik tidak hidup di ruang hampa. Konteks implementasi sering kali lebih menentukan daripada sekadar isi kebijakan. Ada setidaknya empat tantangan besar.

Pertama, kesiapan daerah. Kota-kota besar mungkin siap dengan rantai pasok pangan dan fasilitas dapur sekolah. Tetapi bagaimana dengan daerah 3T yang akses transportasi masih sulit, bahkan untuk kebutuhan sehari-hari?

Kedua, koordinasi antar instansi. Program ini melibatkan Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, pemerintah daerah, hingga sekolah dan pesantren.

Tanpa koordinasi yang rapi, risiko tumpang tindih kewenangan sangat besar.

Ketiga, potensi resistensi dan politisasi. Tidak bisa dipungkiri, program dengan anggaran jumbo selalu rawan digunakan untuk kepentingan politik, baik di pusat maupun daerah.

Bila distribusi vendor pangan dikuasai segelintir kelompok, tujuan mulia bisa tereduksi menjadi proyek ekonomi sempit.

Keempat, keterlibatan pelaksana lapangan. Guru, kepala sekolah, kader posyandu, hingga pengasuh pesantren adalah aktor garis depan yang akan menentukan berhasil tidaknya MBG.

Jika mereka mendukung, program bisa berjalan efektif. Tetapi jika menganggapnya sekadar beban tambahan, MBG bisa macet di tengah jalan.

Seperti dikemukakan Merilee Grindle (1980), keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh konten dan konteks.

MBG memiliki konten yang baik, tetapi konteks implementasinya penuh tantangan. Karena itu, ada risiko “policy failure” bila persoalan implementasi tidak diantisipasi sejak dini.

Di sinilah pentingnya desain kebijakan yang adaptif dan inklusif. Pemerintah perlu memastikan (1) Distribusi program melibatkan UMKM lokal, petani, nelayan sehingga manfaat ekonomi tersebar, (2) Mekanisme pengawasan berbasis teknologi dan masyarakat sipil untuk menjamin transparansi, (3) Fleksibilitas pelaksanaan, sebab kebutuhan sekolah di perkotaan tentu berbeda dengan di pedalaman.

MBG akan menjadi warisan baik bila dijalankan dengan prinsip tepat sasaran, tepat mutu, dan tepat kelola. Sebaliknya, ia bisa menjadi beban politik dan fiskal bila hanya berhenti sebagai janji populis.

Memberi makan bergizi gratis bagi generasi muda adalah cita-cita yang luhur. Tetapi kita mesti ingat, kebijakan publik yang baik tidak selalu berhasil karena konten dan konteks tidak selalu sejalan.

Harapan kita, pemerintah tidak hanya berhenti pada ide besar, tetapi juga serius menggarap detail implementasi. Sebab, bagi anak-anak sekolah yang dibutuhkan bukan sekadar kebijakan, melainkan kenyataan.

Oleh karena itu, gagasan Besar Progresif pemerintah ini perlu mendapat pengawalan dari para anggota DPR RI agar konten yang sudah sangat baik ini dapat berhasil mengatasi konteks yang kompleks.

Editor : Diday Rosadi