Sejarah Panjang Kemasan Sarden. Dimulai dari Perang Napoleon hingga Menjadi Komoditas Industri Makanan

Ilustrasi produksi sarden kaleng. Foto: Ayojatim
Ilustrasi produksi sarden kaleng. Foto: Ayojatim

SURABAYA – Siapa sangka, sarden yang kini mudah kita temukan di rak-rak minimarket hingga warung pinggir jalan, menyimpan kisah panjang yang berakar dari medan perang di Eropa. Makanan kaleng yang identik dengan kepraktisan ini ternyata lahir dari kebutuhan militer, bertahan lebih dari dua abad, dan terus berevolusi hingga menjadi salah satu simbol kuliner instan yang paling digemari.

Cerita sarden kaleng dimulai pada awal abad ke-19, ketika Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte menawarkan hadiah besar bagi siapa pun yang bisa menemukan cara untuk mengawetkan makanan bagi pasukannya. Kala itu, logistik perang sangat tergantung pada makanan segar yang cepat rusak.

Pada tahun 1809, seorang koki sekaligus ahli makanan asal Prancis bernama Nicolas Appert menemukan metode mengawetkan makanan dalam botol kaca yang dipanaskan.

Penemuan ini menjadi awal dari teknik pengalengan modern. Setahun kemudian, Pemerintah Inggris mengembangkan versi pengalengan dalam kaleng logam, yang lebih tahan banting dan lebih praktis dibawa ke medan perang.

Meski awalnya digunakan untuk berbagai jenis makanan, sarden menjadi salah satu yang paling populer. Alasannya sederhana, karena ikan sarden memiliki ukuran kecil, mudah ditangkap dalam jumlah besar, dan kaya akan gizi. Hingga pada pertengahan abad ke-19, pabrik pengalengan ikan mulai bermunculan di pesisir Eropa seperti di Prancis, Portugal, dan Spanyol.

Pada tahun 1870-an, sarden kaleng mulai diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Dari sinilah, kemasan sarden semakin dikenal secara global.

Kemasan sarden pun memiliki ceritanya sendiri. Desain khas berupa kaleng oval pipih dengan sistem "pull tab" atau kunci gulung telah menjadi simbol kepraktisan. Didesain agar bisa dibuka tanpa alat tambahan, desain ini pertama kali populer pada pertengahan abad ke-20.

Beberapa merek bahkan mempertahankan desain klasik tersebut sebagai bagian dari identitas visual yang nostalgik, sekaligus menunjukkan nilai historis produk.

Sejarah Sarden Masuk ke Indonesia
Dari Produk Impor hingga Produksi Lokal

Di Indonesia, sarden kaleng mulai dikenal sekitar masa penjajahan Belanda dan semakin populer pada era 1970-an. Dengan berjalannya waktu, saat industri makanan kaleng dalam negeri mulai berkembang, akhirnya banyak bermunculan beberapa merk ikan sarden dalam kemasan di Indonesia. Salah satu merek lokal pertama yang dikenal luas adalah ABC, diikuti oleh Pronas, King's Fisher, dan lainnya.

Seiring perkembangan zaman, Sarden dalam kemasan menjadi salah satu makanan “penyelamat” bagi banyak keluarga. Terutama saat kondisi ekonomi sulit atau saat bencana, karena ikan sarden dinilai praktis dan efisien. Selain karena awet, murah, dan bisa langsung dimakan. Dalam konteks sosial, sarden juga menjadi simbol gotong royong: kerap dijadikan bagian dari bantuan sosial dan paket sembako untuk masyarakat terdampak bencana.

Apalagi, saat ini sarden dalam kemasan bukan lagi semata sebagai makanan darurat saat kondisi tertentu. Namun juga telah hadir dan berkembang dalam berbagai varian rasa dari saus tomat, cabai, hingga balado. Bahkan, dengan sentuhan berbagai inovasi, Sarden dalam kemasan juga telah menjadi kreasi resep modern dengan sarden sebagai bahan utamanya. Mulai dari nasi goreng sarden, pasta sarden, hingga pizza rumahan.

Sebuah kaleng sarden mungkin tampak sederhana di mata kita. Namun di balik logam tipis dan saus merah kentalnya, tersembunyi sejarah panjang. Mulai dari ambisi seorang kaisar, inovasi sains makanan, hingga adaptasi budaya lintas negara.

Sarden kaleng bukan sekadar makanan cepat saji, namun juga saksi bisu dari perjalanan zaman, ketahanan pangan, dan kreativitas manusia. Mulai dari ide sederhana ditengah kondisi perang yang penuh keterbatasan, hingga menjadi sebuah komoditas ekonomi yang mendunia. Hingga pada akhirnya, menjadi sebuah bagian dari peradaban manusia itu sendiri.

Editor : Amal Jaelani