Harun dan Usman, Jejak Pahlawan dari Pulau Bawean yang Terukir di KRI

Kopral KKO TNI Anumerta Harun bin Said alias Thohir bin Mandar Anggota Korps Komando AL-RI Harun bin Said dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968. Foto: Ali Masduki/Ayojatim
Kopral KKO TNI Anumerta Harun bin Said alias Thohir bin Mandar Anggota Korps Komando AL-RI Harun bin Said dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968. Foto: Ali Masduki/Ayojatim

BAWEAN - Namanya sudah tertulis abadi di lambung kapal perang KRI Usman Harun-359, namun kehidupan Harun bin Said, salah satu anggota Korps Komando Operasi (KKO) asal Pulau Bawean, di balik gelar pahlawan nasional ternyata penuh cerita sederhana dan penuh makna.

Harun dan rekannya, Usman, dikenang sebagai pejuang yang rela berkorban nyawa demi bangsa di tengah gelombang kisah heroik yang tak banyak diketahui masyarakat.

Muhammad Salim, keponakan Harun yang tinggal di Desa Diponggo tempat keluarga Harun, membuka kisah masa kecil paman yang sering dikenal nakal dan pemberani di kampung halaman.

"Maklum dulu belum ada tukang foto, apalagi Harun lahir dari keluarga kurang mampu, jadi tak banyak peninggalan selain cerita. Beliau pernah diikat petani karena mencuri padi untuk dibagikan ke yang kurang mampu," kenangnya dengan nada penuh hormat.

Harun, yang lahir pada 4 April 1947, sejak muda sudah merantau ke Jakarta untuk mengikuti jejak saudaranya. Keluarga di Pulau Bawean pun tak banyak tahu perjalanan hidupnya, termasuk bahwa ia bersekolah pelayaran dan menjadi anggota pasukan khusus TNI AL.

"Cerita tetangga bilang, di Jakarta beliau memang sering membuat ulah, bahkan sering ditakuti. Namun itu belum menggambarkan betapa besar semangat beliau untuk berjuang," tambah Salim.

Keduanya, Harun dan Usman, ditangkap pemerintah Singapura saat menyusup dan melakukan aksi sabotase di gedung MacDonald House pada 10 Maret 1965, yang menyebabkan tiga korban meninggal dan puluhan luka.

Hukuman mati gantung menghantarkan mereka menjadi pahlawan nasional Indonesia sejak 17 Oktober 1968, meski pemerintah Singapura menilai mereka sebagai teroris.

Meski banyak kontroversi antara negara, Salim yakin, Harun bukan hanya milik keluarga, tapi milik negara.

"Saya siap menjaga rumah peninggalan beliau, dan menyambut baik rencana pemerintah menjadikannya museum," ujarnya.

Sebagai kenang-kenangan, Salim memperlihatkan liontin emas berlogo Garuda yang pernah menjadi milik Harun dan diberikan kepada ibunya.

"Ini satu-satunya benda yang tersisa dari beliau," ungkapnya sambil tersenyum haru.

Editor : Alim Perdana