Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri
Ketua ICMI Jawa Timur
PUBLIK dikejutkan oleh kabar bahwa Ustadz Khalid Basalamah diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 23 Juni 2025.
Banyak yang bertanya-tanya: ada apa sebenarnya? Apakah sang dai ternama itu terseret kasus korupsi? Apakah ini bentuk kriminalisasi ulama? Atau, ada cerita lain yang belum kita pahami?
Jawabannya sederhana: tidak ada yang salah ketika seorang warga negara diperiksa sebagai saksi. Justru, ini adalah bagian dari sistem hukum yang sehat, terbuka, dan profesional.
Ustadz Khalid bukan tersangka. Ia dimintai keterangan dalam penyelidikan KPK terkait dugaan penyelewengan kuota haji khusus tahun 2024.
Kasus Kuota Haji yang Membingungkan
Penyelenggaraan haji tahun 2024 menyisakan sejumlah pertanyaan besar. Salah satu yang menjadi sorotan adalah fakta bahwa 3.503 jemaah haji khusus bisa langsung berangkat ke Tanah Suci, padahal seharusnya mereka masih mengantre hingga 2031.
Dalam kondisi normal, 167.000 calon jemaah lainnya masih menunggu giliran. Di sinilah persoalan dimulai. DPR bahkan membentuk Panitia Khusus Haji untuk menginvestigasi dugaan ketidakadilan dalam distribusi kuota haji khusus.
KPK menyelidiki kemungkinan adanya praktik gratifikasi atau penyalahgunaan wewenang di lingkungan Kementerian Agama.
Apakah Ustaz Khalid terlibat? Belum tentu. Tapi sebagai tokoh publik, mungkin beliau mengetahui atau menyaksikan proses tertentu, atau bisa saja namanya dicatut oleh pihak-pihak yang bermain di balik layar. Maka wajar jika KPK meminta keterangannya.
Kooperatif adalah Teladan
Yang patut diapresiasi adalah sikap Ustaz Khalid yang kooperatif dan terbuka saat diperiksa. KPK menyebut bahwa beliau menyampaikan informasi yang relevan dan membantu proses penyelidikan.
Ini adalah contoh yang baik bagi semua pihak, bahwa siapa pun yang dimintai keterangan oleh lembaga hukum, hendaknya bersikap terbuka, santun, dan profesional.
Di tengah maraknya narasi kecurigaan terhadap institusi hukum, sikap Ustadz Khalid justru menyejukkan dan mengedukasi. Ia hadir, menjawab pertanyaan penyelidik, lalu kembali berdakwah seperti biasa. Tidak ada kegaduhan. Tidak ada pembelaan yang berlebihan. Tidak ada upaya mempolitisasi hukum menjadi panggung opini.
Yang Harus Dibongkar: Sistem, Bukan Sosok
Kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk membongkar sistem pengelolaan kuota haji di Indonesia. Publik menuntut transparansi, keadilan, dan tata kelola yang lebih profesional. Dalam sistem distribusi kuota yang tertutup, rawan manipulasi, dan minim pengawasan, potensi penyimpangan akan selalu ada siapa pun menterinya, siapa pun jemaahnya.
Oleh karena itu, fokus kita seharusnya bukan pada siapa yang diperiksa, melainkan mengapa sistemnya memungkinkan ketidakadilan terjadi.
Pemeriksaan terhadap siapapun, baik itu pejabat maupun tokoh agama, harus dipandang sebagai bagian dari komitmen bersama melawan korupsi, bukan sebagai bentuk kriminalisasi.
Saatnya Refleksi Bersama
Kasus ini menyadarkan kita bahwa haji bukan soal dulu-duluan, siapa lebih cepat berarti lebih dipanggil. Tapi sesungguhnya haji itu juga soal cerminan akhlak tata kelola publik.
Ketika ada orang bisa langsung berangkat ke Tanah Suci dengan "jalan belakang", maka mereka bukan hanya mencurangi sistem, tapi juga merampas hak orang-orang yang sabar menunggu giliran selama bertahun-tahun.
Kita memang tidak sedang bicara takdir. Apalagi menyatakan bahwa berangkat lebih cepat meski dengan cara yang tidak wajar (misalnya harus lewat pintu belakang dan harus meloby tembok birokrasi) adalah bagian dari takdir mendapat panggilan dari langit.
Urusan ini memang perlu tafsir yang lebih mendalam. Tapi artikel ini justru mengajak refleksi untuk ikhtiar menjadikan system pelayanan haji lebih inklusif dan transparan.
Kata kuncinya adalah, reformasi tata kelola haji adalah keniscayaan. Pemerintah, DPR, KPK, ormas Islam, dan masyarakat sipil harus duduk bersama. Bukan saling curiga, tapi saling koreksi. Bukan saling tuding, tapi saling membenahi.
Akar Masalah
Masalah yang tengah diselidiki oleh KPK terkait kuota haji khusus, bukan reguler. Berdasarkan keterangan resmi: KPK memeriksa Ustaz Khalid Basalamah sebagai saksi dalam kasus penentuan dan pengelolaan kuota haji khusus 2024.
Isu utama yang dipersoalkan adalah pembagian kuota tambahan 20.000 jemaah (10.000 reguler dan 10.000 khusus) secara tidak transparan dan tanpa dasar hukum yang jelas, sementara UU hanya membolehkan kuota haji khusus maksimal 8ri total kuota.
Temuan Pansus DPR menyoroti indikasi pengalihan kuota reguler ke jalur khusus melebihi ketentuan (50:50) dan dugaan penyelewengan manajemen kuota tersebut.
Dengan demikian, fokus penyelidikan adalah kuota haji khusus, bukan reguler, meskipun ada efek terkait kuota reguler yang dikurangi.
Ustadz Khalid diperiksa karena diduga memiliki informasi penting sebagai pengelola biro travel (PIHK) yang diduga memperoleh kuota khusus tersebut.
Editor : Alim Perdana