Regulasi Haji Perlu Naik Haji

Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMPHURI
Ketua ICMI Jawa Timur

MEREKA tidur di trotoar. Di bawah tenda darurat. Di tengah debu dan kebisingan. Saya tidak sedang bercerita soal pengungsi. Ini tentang sebagian jamaah haji Indonesia tahun 2025. Ya, dua ribu dua puluh lima. Tapi masalahnya masih terasa seperti tahun 2005, atau mungkin lebih lama lagi.

Tahun ini kita memberangkatkan 241 ribu jamaah. Tapi masih saja ada yang terdampar. Ada yang tersesat. Ada yang kehilangan koper dan kehilangan arah. Seolah regulasi kita tidak pernah ikut berhaji.

Setiap selesai musim haji, kita melakukan evaluasi, rapat, dan simposium. Tapi haji berikutnya, kita mengulangi hal yang sama. Seperti thawaf, berputar pada poros yang itu-itu saja.

Tentu saja saya tidak sedang menyalahkan siapa pun. Tapi sebagai Ketua Litbang AMPHURI, saya melihat sistem kita belum utuh. Belum siap sepenuhnya menyambut dan melayani dengan mulia tamu-tamu Allah. Apalagi jamaah yang menggunakan jalur furoda, dakhili, atau jalur mandiri lainnya.

Mereka sering dipingpong. Siapa yang mengurus visa? Siapa yang menjamin tenda? Siapa yang bertanggung jawab atas makan? Semua menjawab: "bukan saya."

Padahal ini bukan soal siapa, tapi soal bagaimana. Bagaimana melayani tamu Allah dengan mulia. Dengan profesional. Dengan sistem yang menenangkan, menyenangkan, dan memartabatkan. Bukan menyulitkan.

Saya membayangkan, andai semua pemangku kepentingan duduk bersama dan setara – negara, Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), asosiasi, dan masyarakat sipil yang peduli pada persoalan haji – kita bisa membangun sistem haji yang efisien, transparan, dan berkeadilan. Bukan sistem yang selalu sibuk mengatur antrean, tapi lupa melayani dengan mulia jamaah yang sudah berangkat.

Jangan jadikan regulasi sebagai alat kontrol semata. Ubahlah menjadi instrumen pelayanan. Ubahlah menjadi jaminan bagi jamaah: bahwa haji mereka tidak hanya sah secara syar'i, tapi juga nyaman secara insani.

Karena itu, saya mengusulkan: Pertama, perkuat kolaborasi antarlembaga, termasuk dengan asosiasi resmi seperti AMPHURI. Kedua, awasi jalur-jalur khusus. Jangan biarkan furoda menjadi ladang spekulasi.

Ketiga, edukasi jamaah dari awal. Jangan hanya berharap mereka paham sendiri. Keempat, bentuk regulasi berbasis amanah, regulasi yang memahami ruh pelayanan.

Dan terakhir, mari kita kembalikan semangat haji: meninggalkan ego, termasuk ego sektoral, menanggalkan kemewahan, dan merapat pada keikhlasan. Karena sesungguhnya, yang paling perlu naik haji bukan hanya jamaah. Tapi juga sistem kita sendiri. Sistem haji kita perlu "dinaikkan haji" agar mabrur, ikhlas melayani, dan memprioritaskan kesempurnaan syar'i.

 

Editor : Alim Perdana