Jangan Sampai Tertipu! Yuk, Kita Lebih Teliti Kalau Makan di Restoran

Restoran legendaris Ayam Goreng Widuran di Solo. Foto: Sindonews
Restoran legendaris Ayam Goreng Widuran di Solo. Foto: Sindonews

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

BELAKANGAN ini, publik dikejutkan dengan kabar bahwa restoran legendaris Ayam Goreng Widuran di Solo, yang telah beroperasi selama lebih dari 50 tahun, ternyata menyajikan menu non-halal tanpa informasi yang jelas kepada konsumen.

Label "non-halal" baru dipasang setelah masyarakat memprotes, dan tentu saja ini menimbulkan keresahan, khususnya bagi konsumen Muslim. Pertanyaannya, bagaimana mungkin selama puluhan tahun umat Muslim bisa tidak tahu dan “tertipu” bahwa ada unsur non-halal dalam makanan yang mereka konsumsi?

Makan Harus Enak, Sehat, Baik, dan Halal

Bagi umat Islam, soal halal dan haram bukan urusan selera atau budaya, tetapi urusan iman dan ketaatan. Ketika kita makan, yang kita masukkan ke dalam tubuh bukan hanya kalori dan protein, tetapi juga sesuatu yang akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah.

Sayangnya, masih banyak di antara kita umat Islam yang bersikap permisif. Kadang, karena “tempatnya ramai dan viral,” kehati-hatian dan kewaspadaan menjadi kurang. Padahal, Allah menegaskan dalam Al-Qur'an: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan…” (QS. Al-Baqarah: 168).

Kasus ini memberi pelajaran penting: jangan mudah percaya hanya karena restoran itu terkenal, bersih, atau viral. Kita perlu belajar menjadi konsumen yang cerdas, yang berani bertanya dan tidak ragu mengecek label.

Pelaku Usaha Wajib Transparan

Memang benar, tidak semua restoran wajib menjual makanan halal, karena Indonesia negara majemuk. Tetapi, jika menjual makanan non halal, pelaku usaha WAJIB memberi tahu secara jujur dan terbuka. Itu bukan hanya etika bisnis, tetapi kewajiban hukum sesuai Undang-Undang Jaminan Produk Halal No. 33 Tahun 2014.

Kepala BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), Muhammad Aqil Irham, pernah menyatakan: “Produk yang tidak halal pun wajib diberi label non-halal, agar tidak menyesatkan konsumen, terutama umat Islam yang wajib menjaga kehalalan makanannya.”

Penegak Hukum Jangan Ragu Bertindak

Dalam kasus Widuran, Wakil Ketua Umum MUI, Dr. Anwar Abbas, menyampaikan dengan tegas: “Ketidaktahuan pelaku tidak membebaskan dari tanggung jawab hukum. Ini bentuk pembiaran yang tidak bisa dibiarkan.” (Tempo, 26 Mei 2025) Pernyataan ini harus dipahami sebagai panggilan moral, bukan sekadar dorongan hukum.

Penegak hukum perlu bertindak cepat dan adil, bukan untuk menghukum membabi buta, tetapi agar menjadi pembelajaran nasional bagi ribuan pelaku usaha lainnya.

Bukankah Ekosistem Halal Sudah Dicanangkan?

Kita tidak bisa terus mengandalkan pihak lain untuk menjaga apa yang kita makan. Umat harus mulai dari diri sendiri: bertanya, mencari informasi, dan selektif dalam konsumsi.

Di saat yang sama, pelaku usaha harus sadar bahwa transparansi bukan hanya strategi bisnis, tetapi tanggung jawab moral. Dan penegak hukum serta regulator harus memastikan bahwa aturan yang dibuat benar-benar ditegakkan demi keadilan dan kemaslahatan.

Mari kita jadikan momentum ini sebagai pelajaran. Juga peringatan keras kepada pengusaha kuliner dan restoran bahwa umat punya hak untuk tahu. Pelaku usaha punya kewajiban untuk jujur. Dan pemerintah punya amanah untuk melindungi.

Jika kita semua bergerak dari kesadaran itu, insya Allah kita bisa membangun Indonesia yang bersih, adil, dan penuh berkah.

Himbauan Mewakili ICMI Jatim

Sebagai Ketua Umum ICMI Jawa Timur, saya memandang bahwa peristiwa ini harus menjadi pengingat penting bagi kita semua. Terutama buat umat Islam di seluruh Indonesia: Mari kita lebih bijak dan cerdas dalam mengonsumsi makanan. Jangan sungkan untuk bertanya, jangan ragu untuk meneliti.

Kita punya hak untuk tahu apa yang kita makan, dan kita punya tanggung jawab kepada Allah untuk menjaga diri dari yang haram maupun yang syubhat. Kita tidak sedang paranoid, tetapi kita sedang menjalankan perintah dan ajaran agama dengan benar. Karena menjaga kehalalan itu bagian dari ketakwaan.

Kepada para pelaku usaha kuliner di seluruh penjuru negeri: Transparansi adalah kunci kepercayaan. Jika memang menjual makanan non-halal, sampaikan dengan jujur dan terbuka. Jangan biarkan konsumen Muslim membeli dalam ketidaktahuan. Jangan abaikan nilai-nilai mayoritas demi keuntungan sesaat.

Kepada pemerintah dan para pemangku kebijakan, khususnya BPJPH, Kementerian Agama, serta aparat penegak hukum: Kami menghimbau agar kasus-kasus seperti ini tidak dianggap sepele, dan perlu ditindaklanjuti sebagai bentuk edukasi hukum dan perlindungan konsumen.

Jangan ragu menegakkan aturan yang telah disahkan. UU Jaminan Produk Halal bukan sekadar dokumen, tetapi amanat undang-undang yang harus dijalankan. Jika hukum ditegakkan dengan adil dan tegas, insya Allah akan tercipta keadilan, ketertiban, dan kemaslahatan bersama.

Editor : Alim Perdana