SURABAYA – Pasar Blauran, yang dulu menjadi denyut nadi perdagangan buku bekas dan baru di Surabaya, kini hanya menyisakan bayang-bayang kejayaannya di masa lalu. Kondisi pasar yang dulunya ramai dengan aktivitas jual beli buku, kini berubah menjadi tempat yang sunyi dan nyaris mati suri.
Penurunan minat baca serta masifnya penggunaan teknologi digital menjadi pemicu utama kemerosotan pasar. Dari 48 pedagang yang dahulu memenuhi lorong-lorong pasar, kini hanya tersisa 7 orang yang bertahan menjajakan buku, baik baru maupun bekas.
Hakim Muslim, selaku Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Se-Surabaya, mengungkapkan kekecewaannya atas kondisi tersebut.
"Dulu ada 48 pedagang yang berjualan, sekarang cuma sisa 7 saja yang bertahan," ujarnya.
Para pedagang mencoba bertahan semampunya. Beberapa masih menggantungkan hidup dari penjualan buku bekas, meskipun pendapatan jauh dari kata layak. Kusnan (70) mengaku saat ini penghasilannya menurun drastis.
“Ini sudah 2 hari ini Ndak dapat pembeli. Dua hari, kadang empat hari pernah ya, nggak dapat uang, karena imbas toko-toko online.” ungkapnya.
Kusnan tetap menjajakan buku - bukunya, walaupun tidak pasti apakah bukunya akan laku atau tidak. "Kita, daripada nggak ada pekerjaan, lebih baik sedanya, gitu. Umur sudah tua. Yang lain-lainnya itu kan orangnya sudah tua-tua juga. Banyak yang meninggal juga." ujarnya.
Kondisi pasar semakin diperparah dengan minimnya dukungan dari Pemerintah Kota Surabaya. "Harapan kami bukan hanya untuk pasar buku saja, tapi untuk semua pasar tradisional. Bagaimana menghidupkan kembali supaya rame kayak dulu," imbuh Hakim Muslim.
Kini, buku yang dahulu menjadi simbol pengetahuan dan peradaban, hanya menjadi barang usang yang menumpuk di etalase. Pasar Buku Blauran pun terus berjuang mempertahankan eksistensinya, meski perlahan tertelan arus zaman
Editor : Alim Perdana