Bagaimana Lulusan PT Masa Depan Yang Ideal di Era AI?

Oleh: Ulul Albab
Mantan Rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya
Ketua ICMI Jatim, Ketua Litbang DPP Amphuri

ADA yang menarik dari percakapan saya dengan seorang mahasiswa baru-baru ini. “Pak, kenapa saya harus capek-capek kuliah, kalau ChatGPT bisa bantu semua tugas saya?” Saya tidak langsung menjawab. Tapi saya tahu, itulah pertanyaan yang akan makin sering muncul di masa depan.

Mungkin pertanyaan itu bukan hanya dari mahasiswa. Tapi juga dari dosen. Dan, jangan-jangan juga dari orang tua mahasiswa.

AI atau artificial intelligence memang telah mengubah cara kita belajar, bekerja, bahkan berpikir. Dalam kontek ini maka pertanyaan di atas menjadi relevan untuk dibahas: Apa gunanya kuliah kalau mesin bisa melakukan segalanya?

AI lebih cepat daripada mahasiswa dalam menulis makalah. Lebih terstruktur dari sebagian dosen saat membuat silabus. Dan lebih sabar dari siapa pun saat menjawab pertanyaan berulang-ulang.

Tapi jangan khawatir, betapapun hebatnya AI ia tetap mesin, tetap robot, yang tidak punya hati. AI memang bisa menjawab. Tapi ia tidak bisa merasakan. Tidak bisa menyelami. Tidak bisa membimbing dengan empati. Di sinilah peran manusia. Menjadi lebih dari AI karena punya hati.

Di era AI, lulusan ideal itu bukan lulusan yang bisa mengalahkan mesin. Tapi yang bisa bekerja sama dengan mesin, dan tetap lebih manusia dari mesin itu sendiri. Karena tadi: manusia punya hati.

Delapan “Senjata Manusia” yang Tak Dimiliki Robot

Kalau AI bisa menulis, bisa menjawab, dan bisa menghitung lebih cepat, maka apa yang tersisa untuk kita manusia? Jawabannya: banyak. Terlalu banyak malah. Asal kita mau menggalinya.

Ada delapan hal yang tidak (dan mungkin tak akan pernah) bisa dilakukan oleh AI. Inilah senjata manusia, yang justru jadi bekal utama lulusan ideal masa depan.

1. Adaptasi Cepat

Manusia bisa berubah haluan, bahkan tanpa peringatan. Hari ini kuliah teknik, besok buka kafe. Lusa, ikut pelatihan digital marketing.

AI? Ia hanya tahu apa yang diajarkan, dan butuh pembaruan sistem jika mau berubah. Sedangkan Kita manusia? Cukup dengan “patah hati” atau dapat inspirasi, kita bisa berubah haluan, bahkan sangat cepat.

2. Rasa Ingin Tahu yang Tidak Pernah Habis

AI menjawab pertanyaan. Tapi manusia bisa terus bertanya, bahkan untuk hal-hal yang belum tentu ada jawabannya. Rasa ingin tahu manusia bukan soal informasi, tapi soal makna. “Kenapa saya di sini?”. Sedangkan AI belum bisa menjawab itu, dan mungkin tidak akan pernah.

3. Empati: Bisa Merasa Tanpa Diperintah

AI bisa membaca emosi dari teks atau suara, tapi tidak bisa merasakan. Manusia bisa menebak suasana hati teman hanya dari tatapan. Bisa menangis saat melihat orang asing kesulitan.

Coba suruh AI peluk teman yang sedang berduka. Tentu tidak bisa. Ia bisa mencetak puisi, tapi tidak bisa menangis saat membacanya.

4. Etika: Punya Batas Tak Tertulis

AI bisa “melakukan segalanya” secara teknis. Tapi manusia tahu, bahwa “tidak semua yang bisa dilakukan” itu sebaiknya dilakukan.

Etika membuat kita menahan diri. Membuat kita berpikir dua kali sebelum menekan tombol kirim. Dan membuat kita sadar bahwa benar secara teknis belum tentu benar secara moral.

5. Kreativitas Liar yang Tidak Bisa Ditebak

AI membuat desain indah. Tapi kadang terlalu rapi. Terlalu “masuk akal”. Manusia bisa mencoret di luar garis. Membuat ide yang absurd. Kadang gagal. Kadang justru jadi terobosan.

Ingat, lampu ditemukan bukan dari riset cahaya, tapi dari kegagalan berkali-kali yang tidak menyerah. AI? Sekali gagal, dia butuh reboot.

6. Kerja Lintas Budaya dan Disiplin

AI bisa mengakses data dari berbagai bahasa. Tapi tidak bisa “ngobrol ngalor-ngidul” dengan orang dari latar belakang berbeda dan tetap nyambung. Manusia bisa duduk bareng: seorang insinyur, budayawan, dan aktivis lingkungan, dan tetap bisa tertawa bersama sambil ngopi.

7. Ketahanan Mental

AI tidak pernah capek, tapi juga tidak pernah kecewa. Tidak pernah galau. Tidak pernah bangkit dari kegagalan karena... ya, ia tidak tahu rasanya gagal.

Manusia bisa jatuh, lalu berdiri lagi, kadang lebih kuat. Di sinilah daya tahan mental dibentuk. Dan itu bukan dari algoritma, tapi dari luka dan pelajaran hidup.

8. Rasa Memiliki Misi

Manusia bisa bekerja bukan karena disuruh. Tapi karena punya tujuan. Visi. Atau sekadar dorongan dalam hati yang tak bisa dijelaskan. AI tidak bisa merasa terpanggil. Tidak bisa mengatakan, “Saya ingin berguna bagi sesama.” Tapi manusia bisa. Dan itu mengubah segalanya.

Kalau kedelapan hal itu bisa terus diasah di kampus, maka lulusan kita bukan hanya siap kerja. Tapi siap mewarnai dunia.

 

Editor : Alim Perdana