"Labaikallahumma labaik... Labaik laa syarika laka labaik, innal hamda, wan ni’mata laka wal mulk, laa syarika lak."
SETIAP tahun, jutaan Muslim dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci. Mereka mengenakan pakaian yang sama, menghadap ke arah yang sama, dan mengucapkan kalimat yang sama: Talbiyah. Di sinilah puncak spiritual seorang hamba: menyambut panggilan Allah dalam kesadaran penuh bahwa hanya Allah satu-satunya yang layak disembah.
Kalimat talbiyah yang lantumkan jamaah haji tentulah bukan hanya kalimat ritual, tapi talbuyah adalah ikrar pembebasan diri dari segala bentuk syirik. Syirik bukan sekadar menyembah berhala, tetapi bisa berbentuk ketergantungan hati kepada selain Allah, entah itu harta, kekuasaan, atau pujian manusia.
Manifestasi Tauhid dalam Gerak dan Suara
Setiap rukun dan manasik haji sejatinya adalah simbol penguatan tauhid. Mari kita coba hahas satu persatu. Pertama; Ihram. Ihram adalah pakaian yang wajib dikenakan oleh setiap jamaah Ketika melaksanakan prosesi haji.
Dengan berihram berarti jamaah melepas segala atribut duniawi, tanda bahwa identitas tertinggi seorang Muslim adalah sebagai abdi Allah, hamba Allah, bukan hamba gelar atau hamba jabatan.
Kedua; Thawaf. Ritual towaf adalah perjalanan mengelilingi Ka’bah, dimana ka’bah adalah simbol pusat tauhid, qiblat seluruh ummat muslim. Dalam gerakan ini, jamaah haji menempatkan Allah di pusat kehidupannya.
Ketiga; Sa’i. Ritual sa’I adalah ritual mengingat perjuangan Hajar, seorang Perempuan, istri Nabi Ibrahim, yang menggantungkan hidupnya hanya kepada Allah.
Keempat; Wuquf di Arafah: hari pengakuan total, tunduk dan berserah. Inilah hari “pertemuan” hamba dengan Rabb-nya. Kelima; Melempar jumrah: simbolik perlawanan terhadap syirik, hawa nafsu, dan tipu daya setan.
Keseluruhan proses ini mendidik umat Islam untuk mentauhidkan Allah dalam segala aspek hidup: niat, perilaku, bahkan harapan.
Tauhid dalam Psikologi Kehidupan
Dalam kacamata psikologi Islam, tauhid adalah sumber ketenangan jiwa (as-sakinah). Hamba yang meyakini hanya Allah sebagai sumber rezeki, kekuatan, dan keselamatan, akan terbebas dari kecemasan berlebih, iri hati, atau kerakusan.
Teori Self-Determination (Ryan & Deci, 2000) menjelaskan bahwa manusia butuh tiga hal untuk Bahagia, yaitu: autonomi, kompetensi, dan keterikatan. Tauhid menjawab ketiganya secara spiritual:
Autonomi: tauhid membebaskan dari dominasi hawa nafsu dan tekanan sosial. Kompetensi: dengan keyakinan kepada Allah, seseorang percaya ia dimampukan untuk menjalani takdirnya. Keterikatan: seorang Muslim yang bertauhid merasa dekat dan terhubung dengan Zat yang Maha Mengasihi.
Talbiyah: Deklarasi Anti-Syirik
Mari kita renungkan makna talbiyah lebih dalam: “Labaik Allahumma labaik...” (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah). Kalimat ini bukan sekadar untuk diucapkan di lisan, tapi ikrar batin.
“Labaik laa syarika laka labaik...” (Tidak ada sekutu bagi-Mu, ya Allah). Kalimat ini bukan sekadar penolakan terhadap patung berhala, tapi penolakan terhadap semua “berhala modern” termasuk: uang, jabatan, popularitas.
“Innal hamda, wan ni’mata, laka wal mulk...” (Segala pujian, nikmat, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu). Kalimat ini adalah bentuk penegasan bahwa semua kebaikan bersumber dari Allah semata.
“Laa syarika lak.” (Engkau tidak punya sekutu). Kalimat ini adalah kalimat Tauhid yang ditegaskan kembali, seolah Allah ingin kita benar-benar yakin sebelum kembali ke rumah.
Inilah syahadat yang dihidupkan, bukan sekadar dihafal. Dan haji adalah panggung di mana syahadat itu diuji dalam gerakan, sabar, dan keikhlasan.
Pendidikan Tauhid Sosial
Sebagai Ketua ICMI Jatim, saya melihat urgensi besar untuk menjadikan haji sebagai momentum pendidikan tauhid sosial. Tauhid bukan hanya urusan akidah, tapi juga etika sosial. Hamba yang bertauhid tidak akan: (1). Menindas yang lemah, karena ia tahu kekuasaan hanya milik Allah. (2). Menipu dalam jual beli, karena ia takut kepada hari pembalasan. (3). Memuja jabatan, karena ia sadar bahwa kemuliaan hanya di sisi Allah.
ICMI siap mendorong gerakan edukasi ummat dengan semangat Tauhid Berkeadaban, tauhid yang tidak hanya membebaskan individu dari syirik teologis, tapi juga syirik sosial: seperti feodalisme, kapitalisme rakus, dan kultus tokoh.
Jika haji telah mendidik jiwa untuk berserah hanya kepada Allah, maka pulang dari Mekkah haruslah dengan jiwa yang merdeka. Merdeka dari rasa takut kepada selain Allah. Merdeka dari ambisi berlebih pada dunia. Merdeka dari ketergantungan pada pujian manusia. Inilah muwahhid sejati. Inilah makna haji yang mabrur.
(Bersambung: Inspirasi Menuju Haji Mabrur Seri ke-5)
Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri
Ketua ICMI Jawa Timur
Editor : Alim Perdana