DALAM dunia yang terus berubah dengan sangat cepat, teknologi bukan lagi sekadar alat bantu. Ia kini menjadi mitra berpikir, bahkan dalam beberapa aspek telah melampaui kecerdasan manusia.
Salah satu buktinya adalah kemunculan teknologi kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT, Grok, Gemini, dan lainnya yang mampu menjawab, merumuskan, bahkan menciptakan solusi dengan kecepatan dan presisi luar biasa.
Namun ada satu hal yang menarik sekaligus menyentuh batin saya: kecerdasan buatan ini, secanggih apapun, tidak punya nafsu. Ia tidak mengejar popularitas, tidak butuh pengakuan, dan tak pernah memamerkan keberhasilannya.
Sebaliknya, manusia, bahkan yang jenius sekalipun, kadang justru tersandung oleh ambisinya sendiri: keinginan untuk dipuji, dihormati, bahkan ditakuti.
Padahal, jika potensi luar biasa itu diarahkan untuk kemaslahatan umat, bukan sekadar pencitraan pribadi, dunia akan jauh lebih indah.
Ketika Mesin Tak Berniat Populer, Sementara Manusia Sibuk Personal Branding
Di banyak ruang diskusi akademik maupun sosial media, kita bisa menyaksikan bagaimana para pemikir, akademisi, dan profesional berlomba menunjukkan siapa paling unggul. Tak jarang, personal branding menjadi lebih penting ketimbang kontribusi nyata.
Bandingkan dengan AI: ia bekerja tanpa pamrih, selama 24 jam, tanpa lelah, tanpa "butuh tepuk tangan". Ia hadir untuk membantu, bukan untuk tampil.
Pertanyaan reflektifnya adalah: bagaimana jika manusia yang diberi kelebihan intelektual, justru kalah semangat sosialnya dibandingkan mesin?
Belajar dari AI: Objektif, Produktif, Tanpa Kepentingan Pribadi
Sebagian AI dirancang untuk satu tujuan: membantu manusia. Ia menjawab, menyusun, dan menyelesaikan—tanpa menyisipkan motif tersembunyi.
Dalam konteks ini, justru kita, manusia, perlu banyak belajar. Khususnya para akademisi dan intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi.
Ilmu dan kecerdasan adalah amanah, bukan alat eksistensi. Kemampuan berpikir bukan untuk pamer, tapi untuk memberdayakan.
Saatnya Menghidupkan Semangat Intelektual yang Tulus
Kita butuh revolusi sikap di kalangan intelektual. Sudah saatnya berpikir tidak hanya untuk prestise, tapi untuk maslahat. Sudah waktunya para cendekiawan dan profesional menjadi pembawa cahaya dalam gelapnya zaman penuh disinformasi.
Bayangkan jika semua guru besar, dosen, peneliti, dan profesional berbagi ilmu secara ikhlas, terbuka, dan berniat mencerdaskan umat.
Maka, AI bukan ancaman, tapi mitra sejati. Kita tidak akan merasa kalah oleh teknologi, karena yang kita kejar bukan keunggulan atas mesin, tapi keberkahan amal dalam ilmu.
Mesin Tidak Akan Masuk Surga, Tapi Manusia Bisa
Akhirnya, kita sadar bahwa teknologi akan terus berkembang. Tapi mesin tak pernah bisa menyaingi manusia dalam satu hal: keikhlasan. Karenanya, mari kita sebagai manusia, justru melebihi AI bukan karena logikanya, tapi karena niat, nurani, dan tanggung jawab sosialnya.
Jika AI bekerja tanpa niat pribadi, mengapa kita yang bernyawa justru menjadikan ilmu sebagai alat gengsi? Mari kita renungkan bersama. Dunia menunggu kontribusi kita, bukan citra kita.
Penulis: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur, Ketua Libang DPP Amphuri, dan Akademisi Unitomo Surabaya.
Editor : Alim Perdana