PT Timah Pecat Karyawan yang Hina Honorer di TikTok, Etika Digital dan Kebijakan Perusahaan di Uji

Foto tangkapan layar VT oknum karyawan PT Timah yang menghina tenaga honorer harus antrean BPJS.
Foto tangkapan layar VT oknum karyawan PT Timah yang menghina tenaga honorer harus antrean BPJS.

SURABAYA – Kasus pemecatan karyawan PT Timah Tbk karena unggahan video TikTok yang dianggap menghina tenaga honorer kembali menyoroti pentingnya etika digital di era media sosial.

Video berdurasi 23 detik tersebut memperlihatkan karyawati PT Timah menyindir pekerja honorer yang menggunakan BPJS Kesehatan, dengan pernyataan, "Ngantri ya dek. BPJS ya. Oh BPJS. Masih honorer ya. Kebetulan saya, ehem… saya gak ngantri dek. Pasien prioritas," sambil memamerkan logo perusahaan di seragamnya. Aksi ini berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan tersebut.

"Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana perilaku di media sosial dapat berdampak serius, bahkan berujung pada pemecatan," ujar Ulul Albab, Ketua ICMI Orwil Jawa Timur dan Dosen MIA Unitomo, menanggapi kejadian tersebut.

"Perusahaan memiliki hak untuk melindungi reputasinya, namun sanksi yang diberikan juga harus dipertimbangkan secara matang dan adil, sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku," tuturnya.

Media Sosial, Etika Kerja, dan Kebijakan Perusahaan

Perkembangan teknologi digital dan penggunaan media sosial yang masif telah mengubah lanskap dunia kerja. Perilaku karyawan di media sosial kini menjadi bagian integral dari reputasi perusahaan.

Seperti yang dijelaskan oleh Manuel Castells (2009) dalam teorinya tentang masyarakat jaringan, media sosial membentuk ruang publik baru yang memengaruhi persepsi publik terhadap individu dan institusi.

"Perusahaan perlu memiliki kebijakan yang jelas dan terukur terkait penggunaan media sosial oleh karyawan," tambah Ulul Albab. Kebijakan ini harus seimbang, melindungi reputasi perusahaan tanpa mengabaikan hak-hak karyawan untuk berekspresi.

Dilema antara Reputasi dan Kebebasan Berekspresi

PT Timah, sebagai perusahaan BUMN, menghadapi dilema dalam menetapkan kebijakan media sosial. Di satu sisi, mereka perlu menjaga citra positif di mata publik. Di sisi lain, perusahaan juga harus menghormati hak karyawan untuk berekspresi.

Pasal 156 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur prosedur PHK yang harus jelas dan beralasan.

"PHK harus berdasarkan prosedur yang benar dan alasan yang sah," tegas Ulul Albab. "Perusahaan harus memastikan prosesnya transparan dan adil, mempertimbangkan aspek hukum dan hak-hak pekerja," lanjutnya.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Kasus ini juga menyoroti ketimpangan sosial antara karyawan tetap dan honorer. Unggahan karyawan PT Timah tersebut mencerminkan adanya kesenjangan sosial yang perlu diperhatikan.

Ketimpangan akses terhadap layanan sosial seperti BPJS Kesehatan juga dapat mengganggu stabilitas sosial dan iklim kerja. Seperti yang dikaji oleh Sari & Syarif (2020), ketimpangan sosial berdampak pada dinamika sosial ekonomi dan stabilitas suatu negara.

Kebijakan yang Bijak dan Etika Digital yang Bertanggung Jawab

Kasus PT Timah menjadi pembelajaran penting bagi perusahaan dan karyawan. Kebijakan media sosial yang jelas dan terukur, serta pemahaman akan etika digital yang bertanggung jawab, sangat krusial dalam menjaga harmoni dan reputasi di era digital.

Karyawan perlu menyadari bahwa setiap unggahan di media sosial dapat berdampak luas, baik bagi diri sendiri maupun perusahaan tempat mereka bekerja.

Editor : Alim Perdana