DARI MATERI “Kajian Inspirasi dengan topik Infak”, ada respons dan tanggapan yang menarik dari seorang kawan, ustadz juga. Beliau menyampaikan bahwa di dalam Al-Qur’an ada disebutkan bahwa di dalam harta mereka (kita) ada hak bagi “Saa’il” dan “Mahrum”.
Siapa diantara mereka yang paling layak untuk diperhatikan, mengingat saat ini faktanya banyak “Saa’il” yang meminta-minta yang sesungguhnya penghasilan mereka sudah banyak?.
Sementara mereka yang tergolong “Mahrum” tidak begitu kelihatan karena mereka tidak menampakkan diri dengan meminta-minta. Padahal mereka ini juga sangat membutuhkan bantuan?.
Izinkan saya menulis jawabanya agak panjang, supaya kajiannya konprehensif dan bisa dijadikan bahan diskusi lebih lanjut. Berikut tanggapan saya:
Dalam konteks kehidupan sosial yang semakin kompleks, kita sering kali berhadapan dengan dilema yang terlihat sederhana, namun sesungguhnya membutuhkan refleksi mendalam: Bagaimana seharusnya kita menyalurkan bantuan kepada mereka yang memerlukan?
Pernahkah kita berpikir tentang bagaimana seharusnya kita memandang peminta-minta di jalanan, atau mereka yang memilih untuk tetap menjaga harga diri meskipun hidup serba kekurangan?
Perihal saa'il (peminta-minta) dan mahrum (mereka yang tidak meminta-minta) sebagaimana termaktub dalam Surah Adh-Dhariyat (51:19), adalah tema yang mengundang banyak pertanyaan.
Dalam ayat tersebut, Allah SWT berfirman: "Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak meminta-minta." (QS. Adh-Dhariyat: 19)
Secara sosial dan ekonomi, ada pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya yang paling layak diprioritaskan untuk menerima bantuan kita. Apakah “Saa’il” (mereka yang terang-terangan meminta), ataukah “Mahrum” (mereka yang tidak secara eksplisit meminta tetapi sebetulnya sangat membutuhkan lebih dari yang kita kira)?
Di jalan-jalan kota, kita sering menjumpai individu-individu yang meminta-minta. Namun, tidak sedikit dari mereka itu merupakan individu-individu yang memiliki penghasilan yang tinggi? Banyak yang mengaku miskin, padahal pendapatan mereka dari meminta-minta bisa mencapai ratusan ribu per hari. Di sinilah kita berhadapan dengan tantangan moral: Apakah memberi kepada mereka adalah tindakan yang tepat?
Memang, dalam konteks ini, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ada sebagian peminta-minta yang benar-benar membutuhkan. Islam mengajarkan kita untuk memberi dengan hati yang tulus, namun dalam konteks sosial yang lebih luas, pemberian yang tanpa pertimbangan yang matang, bisa menimbulkan masalah baru pada mereka, yaitu ketergantungan.
Dengan kata lain, tidak semua yang meminta-minta perlu diberi bantuan, dan kita perlu lebih berhati-hati dalam menilai dan memberikan bantuan.
Sebagai contoh, dalam Surah At-Tawbah (9:60), Allah SWT mengatur dengan jelas bahwa zakat dan infaq hanya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Di sisi lain, di balik hiruk-pikuk peminta-minta di jalanan, ada kelompok individu yang lebih layak mendapatkan perhatian kita, yaitu mahrum, orang miskin yang tidak meminta-minta. Mereka ini meskipun dalam kesulitan, tapi tetap memilih untuk menjaga martabatnya dengan tidak meminta-minta. Mereka memilih untuk berjuang dan berikhtiar sebisanya dengan cara mereka sendiri, meskipun dengan hasil yang jauh dari cukup.
Sering kali, mereka yang tergolong dalam kategori mahrum ini tidak terlihat oleh mata kita. Mereka bisa jadi adalah pedagang kecil, nelayan yang berjuang dengan hasil yang terbatas, atau tukang sampah yang memilih untuk bekerja daripada meminta-minta. Inilah yang sering kali luput dari perhatian kita. Padahal, dalam perspektif sosial, mereka adalah kelompok yang membutuhkan dukungan kita lebih dari sekadar materi atau uang yang cepat habis.
Jika kita berbicara tentang pemberian, maka yang lebih penting adalah pemberian yang tidak hanya bersifat sementara, tetapi juga memberdayakan.
Memberi tidak berarti berupa uang atau barang, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu memberi kesempatan bagi mereka untuk mandiri. Ini adalah langkah yang lebih substantif, yang tidak hanya meringankan beban sesaat, tetapi membuka jalan bagi mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Dalam Islam, zakat dan infaq adalah sarana untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, tetapi bukan untuk membiarkan orang tetap dalam ketergantungan. Salah satu jalan keluar adalah dengan memberi bantuan yang berkelanjutan, yang memberi mereka kesempatan untuk berkembang.
Bantuan berupa pendidikan, akses pelatihan keterampilan, atau bahkan akses ke pasar yang lebih luas untuk hasil karya mereka adalah langkah-langkah yang jauh lebih produktif daripada sekadar memberikan uang tunai. Dalam jangka panjang, langkah seperti inilah yang dapat merubah kondisi mereka yang mahrum menjadi lebih baik, tanpa harus kehilangan martabatnya.
Refleksi Sosial dalam Praktek Berinfaq
Banyak dari kita mungkin masih terjebak pada paradigma lama bahwa memberikan bantuan itu harus dalam bentuk uang atau barang. Padahal, jika kita menelisik lebih dalam, bantuan yang sesungguhnya adalah yang mendidik dan memberdayakan.
Oleh karena itu, kita perlu merenung, apakah cara kita menyalurkan zakat atau infaq selama ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang mengedepankan keadilan dan keberlanjutan?
Dalam konteks ini, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah: Apakah kita memberi dengan cara yang memberdayakan atau hanya memberi dengan cara yang meringankan beban sementara?
Menyalurkan bantuan kepada saa’il dan mahrum bukanlah soal memberi secara sembarangan, tetapi soal memberi dengan pertimbangan yang mendalam. Kita perlu cermat, lebih dari sekadar menilai dari penampilan luar.
Dengan pendekatan yang lebih kritis, kita dapat memberikan bantuan yang tidak hanya menyelesaikan masalah sesaat, tetapi juga membuka peluang bagi mereka untuk mandiri dan keluar dari jerat kemiskinan.
Pemberian yang efektif adalah pemberian yang tidak hanya memenuhi hak mereka yang membutuhkan, tetapi juga yang mendorong mereka untuk berkembang dan keluar dari ketergantungan.
Itulah yang sejatinya diajarkan dalam ajaran Islam, yaitu bantuan yang tidak merendahkan martabat, tetapi justru mengangkat mereka untuk berdaya saing di dunia yang semakin kompetitif ini.
Penulis: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Editor : Alim Perdana