PERTANYAAN ini penting dilempar ke public di era sekarang untuk mengedukasi dan menyadarkan kita semua, dimana dunia politik kita banyak diwarnai hoax, kebohongan, pemutar balikan informasi dan fata, termasuk framing. Apakah kita memilih jalan yang benar atau terjebak dalam tipu daya yang mengelabui kita?
Di dalam Al-Qur'an, Allah SWT memberikan peringatan dan ancaman keras, Khususnya pada Surah Al-Baqarah ayat 174 dan 175. Di ayat tersebut kita tidak hanya disajikan nasihat agama, tetapi juga peringatan keras tentang bahaya dari tindakan yang mencederai kebenaran, baik yang disembunyikan demi keuntungan duniawi maupun kesesatan yang dipilih meskipun ada petunjuk yang terang benderang.
Dalam artikel ini, kita tidak hanya akan mengkaji tafsir dan pesan moralnya, tetapi juga mengajak pembaca untuk melihatnya melalui perspektif ilmiah, untuk mengungkap betapa relevannya peringatan-peringatan ini dalam dunia yang serba materialistik ini.
Menyembunyikan Kebenaran demi Keuntungan Duniawi (Ayat 174)
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah dari kitab-Nya dan mereka menjualnya dengan harga yang murah, mereka itu tidaklah makan dalam perut mereka kecuali api neraka. Dan Allah tidak akan berbicara dengan mereka pada hari kiamat dan tidak akan mensucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang sangat pedih." (QS. Al-Baqarah: 174)
Ayat ini merujuk pada tindakan yang lebih dari sekadar kelalaian atau ketidaktahuan. Ayat ini berbicara tentang mereka yang tahu akan kebenaran, tetapi dengan sadar dan penuh perhitungan memilih untuk menyembunyikan kebenaran demi keuntungan duniawi yang sementara.
6Mereka menjual wahyu Allah dengan harga yang sangat murah, untuk mendapatkan sedikit manfaat material. Ayat ini menyoroti perilaku yang menyembunyikan kebenaran hanya untuk mengejar keuntungan pribadi (Al-Qurtubi, 1993).
Perhatikan peringatan Allah ini: “mereka itu tidaklah makan dalam perut mereka kecuali api neraka”. Dan, mari kita tinjau secara ilmiah.
Dari sudut pandang ilmiah, tindakan menyembunyikan kebenaran demi keuntungan pribadi ini dapat dianalisis dengan teori disonansi kognitif yang dikemukakan oleh Leon Festinger. Festinger menunjukkan bahwa ketika seseorang bertindak bertentangan dengan keyakinannya, akan muncul ketegangan psikologis yang disebut disonansi kognitif, rasa tidak nyaman yang muncul karena bertindak tidak sesuai dengan nilai atau kepercayaan yang diyakini (Festinger, 1957).
Dalam hal ini, mereka yang menyembunyikan kebenaran demi keuntungan duniawi tidak hanya menanggung beban spiritual, tetapi juga psikologis. Ketegangan ini akan terus menghantui, mengganggu kedamaian batin mereka, meskipun mereka berusaha untuk menutupi atau membenarkan tindakan tersebut.
Jadi secara ilmiah ancaman dan peringatan Allah dalam ayat tersebut sangat dibenarkan. Bahkan dalam pandangan Immanuel Kant, seorang filsuf yang menekankan pentingnya moralitas universal, kita diajarkan bahwa menyembunyikan kebenaran untuk keuntungan pribadi adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan kewajiban moral untuk berbuat benar (Kant, 1785).
Mereka yang memilih untuk menyembunyikan kebenaran, memilih keuntungan dunia yang sementara daripada nilai-nilai moral yang abadi, telah melanggar prinsip-prinsip moralitas yang hakiki.
Kita lanjutkan ke ayat berikutnya: "Mereka itu adalah orang-orang yang telah membeli kesesatan dengan petunjuk, dan memilih azab daripada ampunan. Maka betapa sabarnya mereka terhadap api neraka!" (QS. Al-Baqarah: 175)
Mengapa ada orang yang memilih kesesatan meskipun mereka tahu bahwa ada petunjuk yang lebih baik? Mengapa mereka lebih memilih azab daripada ampunan yang Allah tawarkan dengan kasih sayang-Nya?
Pernyataan ini menyoroti pilihan yang mengerikan, seperti transaksi yang tidak pernah terjadi sebelumnya, mengganti yang terbaik dengan yang terburuk. Dalam tafsir Ibn Katsir, ini merujuk pada mereka yang menutup mata terhadap petunjuk Allah dan malah memilih jalan kesesatan yang mereka tahu akan membawa mereka pada kebinasaan (Ibn Kathir, 1999).
Dari perspektif psikologi kognitif, fenomena ini bisa dijelaskan dengan konsep “bias konfirmasi”. Richard E. Nisbett dan rekannya menjelaskan bahwa manusia cenderung mencari, menginterpretasikan, dan mencari-cari pembenaran untuk menguatkan pandangan yang sudah ada dalam dirinya, meskipun informasi tersebut tidak benar (Nickerson, 1998).
Mereka yang memilih kesesatan sering kali sudah terjebak dalam paradigma atau keyakinan yang salah dan lebih memilih untuk menutup mata terhadap kebenaran yang ada di depan mereka, karena hal itu terlalu sulit atau menakutkan untuk diterima.
Dalam teori pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky, dikatakan bahwa individu seringkali membuat keputusan berdasarkan intuisi atau kebiasaan, meskipun keputusan tersebut mungkin salah (Kahneman & Tversky, 1974).
Dalam hal ini, mereka yang lebih memilih azab daripada ampunan mungkin tidak lagi mampu berpikir jernih, terperangkap dalam keputusan emosional yang salah, yang akhirnya membimbing mereka menuju kehancuran. Mengapa begitu? Factor penyebab utama umumnya adalah masalah kepentingan, uang, kedudukan, jabatan, kekuasaan, bahkan rasa aman.
Melihat Kebenaran dalam Keputusan Kita
Jika kita menelisik lebih jauh, kita akan menemukan bahwa kedua ayat ini bukan sekadar peringatan agama, tetapi sebuah seruan untuk introspeksi dan kritis terhadap dunia modern yang penuh dengan godaan materialisme. Kita sering kali tergoda untuk menyembunyikan kebenaran demi keuntungan sesaat atau memilih jalan yang lebih mudah meskipun kita tahu itu salah.
Namun, apa yang ditawarkan oleh Allah dalam ayat ini adalah sebuah peringatan keras: pilihan semacam itu tidak hanya akan menghancurkan kita di dunia, tetapi juga akan berujung pada kehancuran abadi di akhirat.
Di tengah dunia yang semakin sekuler, di mana kebenaran seringkali dibungkus dengan kepentingan politik, ekonomi, dan sosial, kita harus tetap mempertanyakan setiap keputusan yang kita buat. Apakah kita memilih jalan yang benar? Apakah kita berani menghadapi kenyataan meskipun itu sulit? Atau kita hanya mengandalkan informasi yang kita rasa nyaman untuk didengar dan diterima?
Mari Kritis dan Jujur terhadap Diri Sendiri
Al-Qur'an, melalui ayat-ayat ini, memberikan kita peta moral yang tidak hanya berlaku di dunia religius, tetapi juga relevan dalam kehidupan sehari-hari kita, terutama di dunia yang penuh dengan informasi yang berlimpah dan seringkali menyesatkan. Para ilmuwan kognitif dan filsuf, dengan teori-teori mereka yang kuat, memberikan penegasan ilmiah bahwa memilih kebenaran dan menghindari kesesatan adalah keputusan yang benar-benar membawa kita menuju kesejahteraan, baik secara spiritual maupun psikologis.
Maka, mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana: Apakah kita berani memilih yang benar meskipun itu tidak menguntungkan dalam pandangan duniawi? Apakah kita berani menuntut kebenaran, meskipun itu berarti menentang arus besar yang ada di sekitar kita?
Pilihan itu ada di tangan kita. Dan pilihan itu (apakah menuju petunjuk atau kesesatan) akan menentukan jalan hidup kita yang sejati.
Penulis: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Referensi:
1. Al-Qurtubi, A. (1993). Al-Jami' li-Ahkam al-Qur'an. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
2. Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
3. Kant, I. (1785). Groundwork of the Metaphysics of Morals. Cambridge University Press.
4. Ibn Kathir, I. (1999). Tafsir al-Qur'an al-Azim. Dar al-Turath al-Arabi.
5. Nickerson, R. S. (1998). Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in Many Guises. Review of General Psychology, 2(2), 175–220.
6. Kahneman, D., & Tversky, A. (1974). Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases. Science, 185(4157), 1124–1131.
Editor : Alim Perdana