ayojatim.com skyscraper
ayojatim.com skyscraper

Kajian Spiritual dan Ilmiah: Menggali Kekuatan Ayat “Laa yukallifu Allaahu nafsan illaa wus'ahaa”

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

DALAM SURAH Al-Baqarah ayat 286, kita disuguhkan dengan sebuah kalimat yang tak hanya memberi rasa aman, tetapi juga menjadi pedoman hidup yang memancarkan ketenangan hati. "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Baginya (pahala) apa yang ia usahakan, dan bagiannya (dosa) apa yang ia usahakan."

Ayat ini bukan sekadar janji atau hiburan dari Tuhan, tetapi lebih dari itu, ia memberikan gambaran tentang keadilan Allah yang begitu sempurna. Allah memberikan ujian sesuai dengan kemampuan para hamba-Nya. Tidak lebih dan tidak kurang.

Satu ayat yang jika kita renungkan lebih dalam, akan menyentuh sisi terdalam kita, yaitu: betapa Allah memperhitungkan kesanggupan kita dalam menghadapi hidup.

Dalam dunia ilmu pengetahuan, terdapat banyak teori yang sejalan dengan pesan mendalam dari ayat ini. Mulai dari teori resiliensi dalam psikologi hingga teori stress. Agar anda mendapat inspirasinya, silahkan ikuti penjelasan berikut hingga tuntas.

Teori Resiliensi

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita mulai dengan teori resiliensi, yang sudah dikenal dalam dunia psikologi sebagai kemampuan untuk bangkit dari tekanan atau kesulitan. Resiliensi menunjukkan bahwa meskipun seseorang dihadapkan pada tantangan berat, mereka akan mampu menghadapinya, karena tantangan itu sesuai dengan kapasitas mereka.

Teori ini bukan hanya berbicara soal bertahan, tetapi juga tentang kemampuan untuk beradaptasi dan berkembang meski berada dalam situasi yang sangat sulit.

Ayat tadi mengajarkan kita bahwa Allah tidak akan memberikan ujian yang melebihi batas kemampuan kita, apalagi sampai membuat kita terpuruk. Kita selalu diberi kesempatan untuk menghadapinya dengan kekuatan yang sudah Allah tanamkan dalam diri kita.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Michael Rutter, seorang ahli psikologi yang mempelajari resiliensi, ia mengungkapkan bahwa faktor penentu resiliensi adalah adanya dukungan sosial, pengalaman hidup sebelumnya, dan kemampuan individu untuk melihat tantangan sebagai kesempatan berkembang (Rutter, 2012).

Teori Stres

Kemudian, mari kita lihat pada teori stres, yang berfokus pada bagaimana individu merespons tekanan hidup. Hans Selye, seorang ahli fisiologi yang dikenal sebagai bapak teori stres, membagi stres menjadi dua jenis, yaitu: “distress” dan “eustress”.

Distress adalah stres negatif yang membuat seseorang merasa terbebani, sementara eustress adalah stres positif yang muncul ketika tantangan hidup yang justru mendorong seseorang untuk berkembang (Selye, 1974).

Inilah hubungan langsung antara teori stres dan ayat di atas. Allah memberikan ujian yang sesuai dengan kapasitas kita. Ujian-ujian tersebut, meskipun terkadang terasa berat, tetap mengandung potensi eustress, di mana melalui tantangan itu kita bisa mengoptimalkan potensi diri dan berkembang. Jika kita melihatnya dari sudut pandang yang tepat, ujian-ujian dalam hidup akan membawa kita pada proses pendewasaan.

Teori Kognitif-Behavioral (CBT)

Sekarang, mari kita gali lebih dalam melalui teori kognitif-behavioral (CBT), yang menyatakan bahwa cara kita berpikir tentang suatu kejadian akan mempengaruhi bagaimana kita meresponsnya. Dalam konteks ayat tersebut, teori CBT mengajarkan bahwa persepsi kita terhadap ujian hidup sangat menentukan sejauh mana kita dapat menghadapinya dengan kepala tegak. J

ika kita berpikir bahwa ujian itu melebihi kemampuan kita, maka kita cenderung merasa tak berdaya. Sebaliknya, jika kita meyakini bahwa ujian itu sesuai dengan kapasitas kita, maka kita akan lebih siap menghadapinya.

Ini sangat relevan dengan ayat yang mengatakan bahwa “Allah tidak akan memberikan beban lebih dari kemampuan kita.” Dalam teori CBT, kita diajarkan untuk mengubah pola pikir yang salah, seperti merasa tidak mampu atau putus asa, menjadi pikiran yang lebih positif dan produktif, yang memungkinkan kita untuk beradaptasi dan bertahan lebih baik (Beck, 2011).

Mengelola Stres dengan Tawakal

Sekarang mari kita lihat bagaimana ayat tadi juga berkaitan dengan tawakal, berserah diri setelah usaha. Tawakal, seperti yang diajarkan dalam Islam, tidak berarti kita hanya duduk diam dan pasrah, tetapi kita tetap harus berusaha semaksimal mungkin, lalu menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah. Ini adalah penerimaan terhadap takdir dengan penuh kesabaran dan keyakinan bahwa ujian yang datang adalah sesuai dengan kapasitas kita.

Dalam teori stres dan resiliensi, konsep ini bisa diterjemahkan sebagai mengelola stres dengan cara yang sehat, yakni dengan tidak merasa terbebani oleh harapan yang terlalu tinggi terhadap diri kita sendiri.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Albert Ellis dalam teori rasional-emotif behavioral therapy (REBT), kita perlu melepaskan ekspektasi yang tidak realistis terhadap diri kita, karena hal itu hanya akan menambah stres (Ellis, 1994).

Penutup

Ayat Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus'ahaa mengajarkan kita tentang keadilan dan kasih sayang Allah yang tidak membebani kita melebihi kemampuan kita. Melalui teori psikologi seperti resiliensi, stres, dan CBT, kita semakin memahami bahwa ujian hidup adalah sesuatu yang bisa kita hadapi, bahkan dengan cara yang memberi manfaat dan memungkinkan kita untuk berkembang.

Setiap ujian dalam hidup, meski terkadang terasa sangat berat, selalu memiliki potensi untuk membawa kita pada pemahaman diri yang lebih dalam. Dengan usaha maksimal, pola pikir yang positif, dan keyakinan bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik sesuai dengan kapasitas kita, kita akan mampu melewati segala ujian dengan kepala tegak.

Semoga artikel ini memberi pencerahan dan menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu bersyukur, berusaha, dan tawakal dalam setiap langkah kehidupan.

 

Editor : Alim Perdana