SURABAYA - Indonesia secara resmi telah diakui sebagai anggota penuh BRICS pada Senin (6/1/24). Hal itu disampaikan langsung oleh pemerintah Brazil yang memegang jabatan sebagai presiden BRICS pada 2025.
Indonesia secara resmi menjadi anggota penuh BRICS setelah melewati proses konsensus anggota pada 2023 silam.
Menyoal bergabungnya Indonesia dalam BRICS, Radityo Dharmaputra dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (UNAIR) memberikan tanggapannya.
Menurutnya, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS tidak memberikan manfaat yang signifikan pada negara.
Keuntungan Minim
Radityo menyebut bergabungnya Indonesia ke BRICS tidak memberikan keuntungan yang jelas. Terlebih adanya negara anggota BRICS yang merupakan poros penantang negara barat dalam sektor ekonomi menjadikan Indonesia berada pada posisi yang sulit tanpa adanya keuntungan yang pasti bagi negaranya.
“Hal ini menjadi masalah ketika tidak jelas ada keuntungan apa yang bisa diperoleh Indonesia. Secara ekonomi Indonesia sudah bisa bekerjasama dengan anggota-anggota BRICS tanpa perlu bergabung. Karena itu, bergabungnya Indonesia dengan BRICS tidak memberikan suatu keuntungan yang pasti bagi negara,” ungkapnya.
Sentimen Barat
Radityo menyebut bergabungnya Indonesia dalam BRICS memiliki risiko tersendiri yang mana BRICS merupakan kumpulan negara-negara berkembang seperti Brazil, Russia, India dan China yang memiliki tujuan meningkatkan dominasi perekonomian di kancah global. Organisasi itu digadang sebagai penantang negara barat dalam bidang ekonomi.
“Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS memberikan sentimen dari negara barat pada Indonesia. Konsekuensinya adalah kita akan dipandang sebagai bagian dari blok China-Rusia oleh negara barat. Kita butuh diversifikasi investor agar tidak tergantung pada negara tertentu, seperti kata Menlu. Jangan sampai bergabungnya kita ke BRICS malah dipandang kita meninggalkan Barat,” ungkapnya.
Langkah Strategis
Secara global, Radityo menyebut bahwa BRICS belum memberikan pengaruh yang jelas bagi eksistensi Indonesia. Ia menilai hal ini merupakan bentuk langkah Presiden Prabowo untuk diakui sebagai pemimpin global. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya risiko semakin buruknya hubungan Indonesia dengan barat.
”Selanjutnya, Indonesia perlu mengambil keputusan secara hati-hati dalam setiap langkah globalnya. Dalam hal ini harus ada mitigasi dengan cara menguatkan kerja sama dengan AS dan Uni Eropa sebagai penyeimbang. Kalau tidak, harganya terlalu mahal untuk kita,” tambahnya.
Editor : Alim Perdana