JAKARTA - Tahun 2024 menorehkan prestasi gemilang bagi dunia sastra Indonesia. Tiga penulis, Ahmad Tohari, Esther Haluk, dan Murdiono Mokoginta, dari berbagai latar belakang dan wilayah, dianugerahi penghargaan atas dedikasi dan kualitas karya mereka.
Ahmad Tohari, penulis yang telah berkiprah selama lebih dari empat dekade, menerima Lifetime Achievement Award 2024 dari Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA.
Penghargaan ini diberikan atas kualitas karya dan dedikasi Tohari dalam dunia sastra. Karya-karyanya, yang banyak berlatar belakang pedesaan, tidak hanya menampilkan keindahan, tetapi juga menyuarakan kegelisahan manusia.
Esther Haluk, penulis asal Papua, meraih Dermakata Award 2024 kategori fiksi. Karyanya, yang menyuarakan suara mereka yang terpinggirkan di Papua, mendapat pengakuan atas kualitas sastra dan dampak sosialnya.
"Nyanyian Sunyi" (2021), salah satu karyanya, menjadi medium advokasi yang kuat, menyoroti diskriminasi berlapis yang dialami perempuan Papua.
Murdiono Mokoginta, penulis asal Bolaang Mongondow, Sulawesi, dianugerahi Dermakata Award 2024 kategori nonfiksi. Karyanya, "Abad Transisi: Bolaang Mongondow dalam Catatan Kolonial Abad XIX-XX" (2024), merupakan hasil riset mendalam tentang sejarah lokal masyarakatnya. Buku ini tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga menghidupkannya dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami.
Masing-masing pemenang menerima Piagam Penghargaan dan hadiah dana. Jumlah dana mencapai 50 juta rupiah untuk Lifetime Achievement Award, dan 35 juta rupiah masing-masing untuk Dermakata Award.
Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA dan Penggagas Lembaga Kreator Era AI, menyampaikan pengumuman resmi penghargaan ini.
"Penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi terhadap dedikasi dan kualitas karya para penulis yang telah memberikan kontribusi besar bagi dunia sastra Indonesia," ujar Denny JA.
Ia juga mengumumkan bahwa Denny JA Foundation, yayasan yang didirikannya, telah menghibahkan dana abadi untuk penghargaan tahunan bagi penulis. Dana abadi ini menjamin keberlangsungan penghargaan bagi penulis hingga 50 tahun mendatang atau lebih.
"Dengan adanya dana abadi ini, kami berharap penghargaan ini dapat terus memotivasi para penulis untuk terus berkarya dan melahirkan karya-karya berkualitas," tambah Denny JA.
Pemenang penghargaan ini dipilih melalui proses seleksi bertahap yang melibatkan para juri dari berbagai wilayah di Indonesia. Anwar Putra Bayu (Sumatra) memimpin dewan juri untuk Lifetime Achievement Award, sementara Okky Madasari (Jawa) memimpin dewan juri untuk Dermakata Award.
Berikut adalah alasan di balik terpilihnya Ahmad Tohari, Esther Haluk, dan Murdiono Mokoginta sebagai penerima penghargaan:
Ahmad Tohari: Penjaga Jiwa Desa, Saksi Keadilan Sosial, dan Penghubung Spiritualitas
Karya-karya Ahmad Tohari, seperti trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" dan "Di Kaki Bukit Cibalak", menempatkan desa sebagai ruang hidup yang penuh warna, tradisi, dan perjuangan.
Ia melukiskan harmoni antara manusia, alam, dan adat istiadat dengan kejujuran yang melampaui romantisme. Karya-karyanya juga merefleksikan ketimpangan, eksploitasi, dan pergolakan politik, seperti dalam "Kubah" dan "Orang-Orang Proyek".
Tohari memadukan nilai-nilai spiritual dan realitas manusia dalam setiap karyanya, menjadikan karyanya relevan di tengah dunia yang semakin terfragmentasi.
Esther Haluk: Menyuarakan Perjuangan Perempuan Papua
Melalui "Nyanyian Sunyi" (2021), Esther Haluk mengangkat isu-isu yang jarang tersentuh, seperti hak perempuan, kekerasan dalam konflik, dan perjuangan identitas budaya Papua.
Ia menjadikan sastra sebagai alat untuk membangun kesadaran kolektif, baik di tingkat nasional maupun global. Dedikasinya tidak berhenti pada karya, tetapi meluas ke berbagai forum advokasi, menunjukkan keberanian dan konsistensi yang luar biasa.
Murdiono Mokoginta: Menghidupkan Kembali Sejarah Lokal
"Abad Transisi: Bolaang Mongondow dalam Catatan Kolonial Abad XIX-XX" (2024) karya Murdiono Mokoginta, tidak hanya mencatat sejarah, tetapi juga menghidupkannya dengan bahasa yang ringan, namun tetap berbobot.
Buku ini mengungkap dinamika sosial, budaya, religi, dan politik Bolaang Mongondow pada abad ke-19 dan 20. Ia menawarkan wawasan yang mendalam sekaligus relevan.
Penghargaan ini merupakan pengakuan atas dedikasi dan kualitas karya para penulis. Mereka telah membuktikan bahwa sastra mampu menjadi alat untuk merawat warisan budaya, menantang ketidakadilan, membangun kesadaran kolektif, dan menghidupkan kembali sejarah.
Semoga penghargaan ini dapat menginspirasi para penulis lainnya untuk terus berkarya dan memberikan kontribusi positif bagi dunia sastra Indonesia.
Editor : Alim Perdana