SURABAYA – Indonesia, negeri demokrasi? Jangan tertipu! Praktik politik uang yang merajalela telah menciderai nilai-nilai luhur demokrasi kita. Rakyat dibodoh-bodohi dengan uang, sementara para politikus berpesta pora, tertawa lebar melihat demokrasi kita tergadaikan!
Titi Anggraeni, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) dan Direktur Perludem, dengan lantang menuding adanya pragmatisme politik yang busuk, di mana pemilih membutuhkan uang dan calon memanfaatkannya dengan licik.
"Pragmatisme politik dari sisi pemilih ini menjadi celah bagi calon untuk melakukan politik uang. Mereka tahu pemilih butuh uang, dan mereka memanfaatkannya," ujar Anggraeni, ketika rilis hasil riset Survei Tingkat Permisifitas Politik Uang dan Membaca Pola Klientelisme di Jatim Menjelang Pilkada 2024 yang dirilis oleh Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi atau PUSAD UMSurabaya, Senin (4/11/2024).
Anggraeni mencontohkan beragam bentuk politik uang yang dilakukan, seperti pemberian uang tunai langsung kepada pemilih dengan berbagai dalih, seperti bantuan sosial atau sumbangan.
"Modus paling umum adalah pemberian uang tunai langsung kepada pemilih. Berbagai dalih digunakan, seperti bantuan sosial, sumbangan, atau bahkan "uang bensin" untuk menghadiri acara kampanye. Pemberian uang tunai ini jelas melanggar aturan dan etika politik, namun tetap dilakukan karena dianggap efektif untuk memengaruhi pilihan pemilih," terangnya.
Selain itu, calon juga memberikan barang-barang seperti sembako, pakaian, atau alat elektronik dengan harapan dapat mempengaruhi pilihan pemilih.
Anggraeni berpendapat bahwa untuk memutus mata rantai politik uang, diperlukan langkah-langkah strategis. Salah satunya yakni Desentralisasi pencalonan. Hal ini untuk mempermudah akses pencalonan dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam menentukan calon.
Selanjutnya, pendanaan politik yang aksesibel dengan membuat sistem pendanaan politik yang lebih transparan dan aksesibel, sehingga calon tidak bergantung pada para pemodal dan terhindar dari pragmatisme balik modal.
"Penegakan hukum yang tegas juga sangat penting dalam memberantas politik uang," tambah Anggraeni.
Ia bahkan menyarankan agar Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) dibubarkan saja karena dianggap tidak efektif dalam menangani kasus politik uang.
"Dalam negara demokrasi yang belum mapan seperti Indonesia, penegakan hukum harus tegas. Gakkumdu ini ibarat 'kucing-kucingan' dengan para pelaku politik uang," tegasnya.
Anggraeni menegaskan bahwa politik uang merupakan ancaman serius bagi demokrasi Indonesia. Dirinya berharap semua pihak, termasuk partai politik, penegak hukum, dan masyarakat, dapat bekerja sama untuk memberantas praktik ini dan mewujudkan Pemilu yang bersih dan berintegritas.
Survei Menunjukkan Tingginya Permisifitas Politik Uang di Jawa Timur
Sebelumnya, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) merilis hasil survei terkait tingkat permisifitas politik uang dan membaca pola klientelisme di Jatim menjelang Pilkada 2024.
Radius Setiyawan, Peneliti Utama PUSAD UMSurabaya, mengatakan bahwa hasil survei menunjukkan 38,3% masyarakat Jawa Timur menganggap wajar politik uang.
Dalam survei tersebut juga ditemukan 9 kabupaten/kota permisif politik uang di Jawa Timur, yaitu: (1). Kab.Ponorogo 7,5%; (2). Kab. Sampang 5,30%; (3). Kab.Bangkalan 4,40%; (4). Kab.Pamekasan 4,32%; (5). Kab.Sumenep 4,30%; (6). Kota Malang 4,12%; (7). Kab. Lumajang 4,00%; (8). Kab. Lamongan 3,45%, dan; (9). Kab.Jember 3,30%.
“Hanya 5,9 masyarakat yang menolak menerima uang, sementara 54,8 masyarakat menerima uang tapi tidak memilih yang memberi uang dan 35,9 masyarakat menerima uang tersebut dan memilih calon yang memberikan uang,” ujar Radius Senin (4/11/24).
Editor : Alim Perdana