Rekomendasi ICMI Jatim Untuk Pemprov Jatim

Kajian Akhir Tahun ICMI Jatim, dari Sertifikat ke Pasar Global: PR Ekonomi Halal Jawa Timur 2026

Reporter : Ulul Albab

Oleh: Ulul Albab
Akademisi Universitas Dr. Soetomo
Ketua ICMI Jawa Timur

JAWA TIMUR  itu rajin. Rajin rapat. Rajin launching. Dan dalam beberapa tahun terakhir rajin menerbitkan sertifikat halal. Jumlahnya besar. Bahkan mengesankan. Ribuan UMKM sudah bersertifikat. 

Baca juga: Refelksi Akhir Tahun: Menutup Tahun dengan Kejernihan Hukum

Jawa Timur sering dipuji sebagai salah satu provinsi dengan akselerasi sertifikasi halal tercepat di Indonesia. Di atas kertas, Jatim terlihat sangat “halal-ready”. Tapi izinkan saya bertanya gaya jawa timuran: “habis sertifikat, lalu apa?”

Sertifikat halal itu ibarat SIM. Penting, wajib, dan menentukan boleh tidaknya melaju. Tapi punya SIM tidak otomatis bikin orang bisa sampai tujuan. Harus ada kendaraan. Harus ada jalan. Harus ada bensin. Dan dalam konteks topik kita ini (sertifikasi halal untuk UMKM) yang paling penting adalah: harus ada pasar. Di sinilah PR besar ekonomi halal Jawa Timur untuk tahun 2026 dan selanjutnya.

Harus diakui bahwa selama ini, pendekatan kita masih terlalu administratif. Fokus pada kepatuhan, belum cukup kuat pada ekosistem bisnisnya. UMKM dikejar sertifikat, ya, itu benar. Tapi setelah itu mereka sering ditinggal sendirian menghadapi pasar yang keras, pembiayaan yang mahal, dan persaingan digital yang tidak ramah bagi pemain kecil.

Ekonomi halal seharusnya tidak berhenti di logo. Harus hidup di rantai nilai. Dan dari kajian yang kami lakukan secara mendalam, setidaknya ada tiga rekomendasi yang siap dieksekusi jika Jatim benar-benar mau sukses nyata di bidang ekonomi halal.

Pertama, soal pembiayaan syariah. Banyak UMKM halal di Jawa Timur sudah “halal produknya”, tapi belum “halal napas usahanya”. Mereka masih bergantung pada pembiayaan informal berbunga tinggi, atau sulit mengakses perbankan. 

Jika ekonomi halal mau naik kelas, maka bank syariah, BPRS, dan fintech syariah harus ditarik masuk sebagai pemain utama, bukan figuran acara seremoni.

Baca juga: Jatim Tidak Kekurangan Uang, Tapi Kekurangan Keberanian Membagi

Kedua, soal pasar digital halal. UMKM halal sering disuruh go digital, tapi dilempar ke marketplace umum yang algoritmanya tidak peduli “halal atau tidak”. Padahal dunia sedang bergerak ke niche market. Halal itu niche yang besar, dan global pula. 

Jawa Timur perlu mendorong marketplace halal yang benar-benar mengkurasi produk, mempertemukan UMKM dengan konsumen muslim domestik dan internasional. Tanpa itu, sertifikat halal hanya jadi stiker mahal. Jadi gagah-gagahan saja.

Ketiga, soal klaster industri halal berbasis wilayah. Tidak semua daerah harus melakukan segalanya. Madura, misalnya, kuat di pangan dan ternak. Tapal Kuda, kuat di olahan hasil pertanian. Malang Raya, kuat di makanan olahan dan ekonomi kreatif.

Pendekatan klaster membuat pembinaan lebih fokus, biaya lebih efisien, dan dampaknya lebih terasa. Ekonomi halal tidak tumbuh dari lomba, tapi dari kedekatan ekosistem.

Baca juga: Indosat Jamin Koneksi Lancar di Jawa Timur saat Nataru

Di titik ini, peran Pemprov Jawa Timur menjadi strategis. Bukan sebagai pedagang, bukan sebagai pelaksana UMKM, tetapi sebagai arsitek ekosistem. Menyambungkan sertifikasi dengan pembiayaan. Mengaitkan UMKM dengan pasar. Menghubungkan daerah dengan jejaring nasional dan global.

Jika 2024–2025 adalah fase “kejar sertifikat”, maka 2026 harus menjadi fase kejar omzet, kejar ekspor, kejar lapangan kerja. Karena ekonomi halal sesungguhnya bukan soal label, tapi soal keberpihakan pada UMKM, soal keadilan akses, dan soal apakah nilai kehalalan benar-benar menghasilkan kesejahteraan. Kalau tidak, maka kita hanya akan bangga pada angka sertifikat. Sementara UMKM tetap berlari di tempat.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Berita Populer
Berita Terbaru