Amanah dan Keadilan, Menimbang Dua Tragedi di Tahun 2025

Reporter : Ulul Albab
Pada 9 Desember, kebakaran hebat melanda gedung PT Terra Drone Indonesia di Kemayoran, Jakarta Pusat, yang menewaskan 22 orang pekerja. Foto/Dok.Gulkarmat DKI

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

TAHUN 2025 mencatat dua peristiwa tragis yang mengganggu rasa kemanusiaan bangsa. Pada 9 Desember, kebakaran hebat melanda gedung PT Terra Drone Indonesia di Kemayoran, Jakarta Pusat, yang menewaskan 22 orang pekerja.

Baca juga: Lingkungan Hidup, Energi, dan Transisi Hijau: Antara Target Nasional dan Kapasitas Daerah

Dua bulan sebelumnya, 29 September, bangunan musalla di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur ambruk saat santri salat Ashar berjemaah, menelan 67 jiwa santri dan melukai puluhan lainnya.

Di Jakarta, kebakaran di gedung Terra Drone dimulai sekitar pukul 12.43 WIB, diduga akibat baterai litium yang terbakar di lantai satu. Asap tebal menjalar ke lantai atas sehingga puluhan pekerja terjebak dan mengalami kekurangan oksigen. Jenazah korban sebagian besar ditemukan di lantai 3 hingga 5 gedung.

Dalam hitungan hari, polisi telah menetapkan Direktur Utama PT Terra Drone Indonesia, Michael Wishnu Wardana, sebagai tersangka atas dugaan kelalaian yang menyebabkan kebakaran dan korban jiwa.

Ia dijerat Pasal 187, Pasal 188, dan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kebakaran dan kelalaian yang mengakibatkan kematian.

Respons hukum yang cepat dan tegas ini mencerminkan suatu kepastian hukum dalam konteks korporasi di sektor industri.

Sementara itu di Sidoarjo, tragedi bangunan musalla Ponpes Al-Khoziny berlangsung dalam suasana yang penuh duka. Bangunan tiga lantai yang sedang digunakan santri ambruk secara tiba-tiba, tanpa peringatan yang jelas.

Tim SAR gabungan melakukan evakuasi, dan setelah beberapa hari operasi pencarian, pihak Basarnas melaporkan 67 korban meninggal dan 104 santri selamat.

Namun, meskipun jumlah korban lebih besar, penetapan tersangka dalam kasus ini belum diumumkan secara publik hingga kini, meskipun penyelidikan teknis dan analisis struktur bangunan disebutkan masih berlangsung.

Tidak seperti kasus Terra Drone, publik tampaknya belum melihat tahapan proses hukum yang sama jelasnya di media massa atau pernyataan aparat. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kesetaraan respons hukum.

Keadilan yang Setara Bukan Pilihan

Keadilan, dalam prinsip negara hukum, bersifat egaliter: ia harus berlaku tanpa melihat subjek hukum berasal dari mana, atau lembaga apa yang terlibat.

Korban jiwa tetap korban, apakah itu pekerja pabrik, karyawan perusahaan swasta, atau santri yang sedang beribadah. Mereka semua adalah warga negara yang berhak atas perlindungan keselamatan dan kejelasan hukum.

Baca juga: Kemiskinan dan Ketimpangan Jawa Timur 2025, Menakar Ulang Dampak Pertumbuhan

Perbedaan kecepatan dan keterbukaan proses hukum dalam dua kasus tersebut bukan berarti ada niat buruk dari aparat.

Ia bisa mencerminkan kesenjangan kapasitas administratif, perbedaan struktur organisasi, atau perbedaan bukti teknis yang dimiliki penyidik. Namun sebagai masyarakat yang beradab, kita perlu memastikan bahwa keadilan yang sama benar-benar ditegakkan, bukan hanya terlihat cepat di satu konteks saja.

Belajar dari Tradisi Islam tentang Amanah dan Tanggung Jawab

Dalam tradisi Islam, amanah adalah prinsip kehidupan sosial yang konkret. Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa amanah harus dipikul dengan serius, dan setiap orang bertanggung jawab atas tugas yang diembannya.

Ketika Nabi SAW membangun Masjid Nabawi, beliau secara langsung memeriksa kekokohan pondasinya. Standar keselamatan jauh lebih diprioritaskan daripada kemegahan bangunan karena yang utama adalah tempat ibadah itu harus aman dan layak bagi warga yang menggunakannya.

Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab struktural merupakan bagian dari adab membangun ruang sosial dan keagamaan.

Sahabat Umar bin Khattab juga dikenal memerintahkan pemeriksaan rutin terhadap fasilitas umum. Umar memerintahkan gubernur dan pejabat negaranya untuk memastikan bangunan dan fasilitas umum aman digunakan, dan jika ada kelalaian yang membahayakan, pertanggungjawaban harus ditegakkan.

Baca juga: Infrastruktur, Transportasi, dan Konektivitas: Menghubungkan Pusat Pertumbuhan dan Daerah Tertinggal

Prinsip ini tertuang dalam keputusan-keputusan beliau yang meskipun tidak termuat dalam kitab undang-undang formal, direkam dalam tradisi fiqh sebagai bagian dari metafora tanggung jawab publik.

Dalam konteks kedua tragedi di tahun 2025, prinsip yang diajarkan Rasulullah dan para sahabat ini relevan: proses hukum dan pengawasan teknis terhadap keselamatan bangunan publik, termasuk pesantren atau kantor, harus dilakukan secara menyeluruh, adil, dan konsisten. Tidak ada ruang bagi kelalaian yang menimbulkan korban jiwa untuk berlalu tanpa akuntabilitas.

Amanah, Bukan Formalitas

Polemik yang muncul di ruang publik sering berkutat pada apakah suatu insiden merupakan musibah atau kelalaian hukum. Namun dalam banyak tradisi hukum Islam klasik, termasuk dalam “maqasid syariah”, yang terpenting adalah melindungi jiwa “(hifz al-nafs)”.

Ketika bangunan atau fasilitas publik dibangun tanpa memenuhi standar keselamatan minimum, implikasi hukum dan moralnya adalah nyata: nyawa warga menjadi taruhannya.

Kita berutang pada para korban, baik di Kemayoran maupun di Sidoarjo, untuk mengambil pelajaran: bahwa pengawasan dan standar teknis bukanlah pilihan administratif, tetapi bagian dari moral kolektif yang harus dijaga negara dan masyarakat.

 

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Berita Populer
Berita Terbaru