Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Alumni S1 dan S3 UB
SAYA menulis ini dari sebuah kursi di pinggir kolam, di Lembah Tumpang, Malang. Hari Minggu, 30 November 2025. Udara sedingin kulkas alami. Angin berembus pelan, seperti sengaja agar saya tidak segera menutup laptop. Saya datang bersama rombongan kecil.
Baca juga: Sains, Teknologi, AI, dan Kedaulatan Pengetahuan
Niatnya hanya healing tipis-tipis sambil merapikan beberapa tugas akademik yang mengantre. Tidak ada agenda besar. Tidak ada rencana istimewa. Tapi rupanya Allah sedang menyiapkan kejutan.
Sejak awal memasuki kawasan Lembah Tumpang, saya sudah merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan hanya kolam-kolam jernih, arca, dan replika candi yang membuat pengunjung seperti masuk ke miniatur kerajaan Jawa.
Bukan hanya udara Tumpang yang sejuk seperti baru keluar dari lemari pendingin raksasa. Tetapi suasana tenangnya. Suasana yang membuat kita berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu membuka halaman hidup yang kita tutup terlalu lama.
Saya duduk sebentar, menatap air yang terus mengalir tanpa peduli siapa yang datang dan pergi. “Ini tempat yang sempurna untuk menyelesaikan tulisan,” pikir saya. Dan benar saja: baru beberapa menit mengetik, kalimat-kalimat mengalir lebih lancar dibanding ketika saya memaksanya di meja kantor.
Saat berjalan menuju salah satu bangunan utama, saya melihat kerumunan kecil. Ada seseorang di tengahnya, dan entah kenapa sosok itu terlihat sangat familiar. Saya mendekat perlahan. Begitu wajahnya terlihat jelas, saya terpaku.
Itu… Prof. Yogi Sugito, teriak saya dengan suara berbisik kepada istri saya yang mendampingi saya. Beliau Juragan (bossnya) Lembah Tumpang. Dan bukan sembarang nama: beliau adalah mantan Rektor Universitas Brawijaya dan orang yang mewisuda saya ketika saya lulus doktoral S3 sekian tahun lalu. Saya menghampiri beliau. Kami berjabat tangan. Beliau tersenyum hangat, dengan gaya khasnya, seolah kami baru bertemu kemarin.
Baca juga: Kontribusi ICMI Terhadap Agenda Percepatan Kualitas SDM Indonesia Emas
Saya menyaoa beliau. “Assalamualaikum Prof…Prof, saya datang untuk menulis dan menenangkan pikiran. Tidak menyangka bertemu panjenengan, apalagi di tempat yang panjenengan bangun.” Beliau tertawa ringan sambil mempersilahkan saya. “Ya begitulah. Takdir sering main-main dengan kita.”
Kejutan hari itu belum selesai. Tak lama setelah itu, dari sebuah ruang utama terdengar suara musik elekton. Suaranya halus dan bersih. Saya kira itu penyanyi profesional yang disewa khusus. Tapi begitu saya masuk ke ruangan, saya langsung terperangah.
Yang bernyanyi adalah… Mas Herman Suryokumoro. Senior saya. Mantan Dekan Fakultas Hukum UB. Tokoh yang dikenal luas karena kecerdasannya, karismanya, dan—ternyata—kemampuan menyanyinya yang tidak kalah dengan penyanyi panggung beneran.
Mas Herman terlihat begitu menikmati musik. Suaranya mengisi ruangan dengan kehangatan yang keren, karena saya tidak pernah membayangkan beliau tampil sebagai penyanyi di acara elektonan santai di Lembah Tumpang.
Baca juga: Memahami Kontroversi Drama Kasus Korupsi ASDP Yang Direhabilitasi
Dua kejutan besar. Dua pertemuan yang tidak saya rencanakan. Dua potongan kisah yang rasanya terlalu sempurna untuk disebut kebetulan. Lalu saya sadar: Tidak mungkin semua ini terjadi tanpa takdir Allah.
Ia adalah tempat pertemuan. Pertemuan dengan alam. Pertemuan dengan masa lalu. Pertemuan dengan orang-orang yang pernah membentuk hidup kita. Pertemuan dengan takdir yang datang tanpa janji. Dan pertemuan dengan diri sendiri yang sering hilang dalam rutinitas.
Hari ini, saya mendapatkan semuanya sekaligus. Bagi siapa pun yang membutuhkan ruang untuk menepi, merenung, menyembuhkan diri, atau hanya ingin menemukan kembali ritme hidup, Lembah Tumpang adalah tempatnya. Kadang kita mencari jauh-jauh padahal kedamaian bisa ditemukan di lembah yang dijaga mata air.
Editor : Alim Perdana