Di tengah derasnya arus informasi yang tak pernah berhenti mengalir, ruang digital kini berubah menjadi medan yang penuh dinamika. Polarisasi pendapat, ketegangan sosial, hingga misinformasi menjadi pemandangan sehari-hari yang sulit dihindari.
Dalam situasi seperti ini, nilai ukhuwah islamiyah justru tampil kembali sebagai pedoman penting yang harus diperkuat, bukan sekadar wacana yang dibiarkan mengambang.
Baca juga: Lebih dari Sekadar Laga Sepak Bola, Turnamen 100 Tahun Gontor Satukan Alumni Santri Sedunia
Perkembangan teknologi membawa banyak manfaat, namun juga menghadirkan tantangan baru bagi umat.
Ketika perbedaan pandangan disikapi secara tergesa-gesa, ketika emosi lebih cepat meletup dibandingkan akal sehat, maka kesalahpahaman mudah tumbuh dan memicu gesekan.
Ruang digital yang seharusnya menjadi tempat berbagi kebaikan berubah menjadi arena saling menjatuhkan, menghakimi, bahkan meretakkan hubungan sesama Muslim.
Padahal Islam telah menegaskan bahwa persaudaraan adalah fondasi utama kehidupan sosial. Al-Qur’an mengingatkan, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujurat: 10).
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang perdamaian, tetapi juga tentang kewajiban menjaga hubungan, memahami perbedaan, dan menahan diri dari sikap yang dapat memecah belah.
Di era digital, spirit ayat ini terasa semakin relevan. Komentar pendek dapat berubah menjadi konflik panjang, unggahan tanpa verifikasi dapat menyebarkan fitnah, dan perbedaan penafsiran dapat menjadi sumber permusuhan.
Dalam kondisi ini, tabayyun bukan sekadar ajaran klasik, melainkan tuntunan modern yang sangat dibutuhkan untuk menata ulang etika bermedia.
Baca juga: Pengundian Umroh Gratis dari Samira Travel, 1000 Jamaah Antusias Penuhi Hotel Surabaya Suite
Berbagai komunitas masjid mulai menjawab tantangan ini dengan menghadirkan program literasi digital berbasis nilai keislaman.
Melalui kelas-kelas kecil, kajian tematik, hingga pendampingan penggunaan media sosial yang beretika, umat didorong untuk lebih bijak menyeleksi informasi dan memahami dampak dari setiap tindakan verbal maupun digital.
Gerakan ini menunjukkan bahwa menjaga ukhuwah bukan hanya melalui ceramah, tetapi melalui pembiasaan dan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya memperkuat ukhuwah islamiyah sejatinya tidak dapat dilepaskan kepada lembaga keagamaan saja. Tanggung jawab ini melekat pada setiap individu Muslim. Interaksi digital sekecil apa pun bentuknya, merupakan bagian dari akhlak yang harus dijaga.
Baca juga: Apa Itu Badal Umrah? Ternyata Begini Tata Cara Pelaksanaannya
Menahan jari sebelum mengetik, memastikan kebenaran sebelum membagikan, serta menolak provokasi adalah langkah kecil namun berdampak besar dalam menjaga kedamaian.
Pada akhirnya, ukhuwah islamiyah bukan sekadar slogan atau konsep teoritis. Ia adalah kompas moral yang membimbing umat untuk tetap berada pada jalur persaudaraan, meski dunia terus berubah dengan kecepatan yang sulit dibendung.
Di tengah hiruk-pikuk digital yang sering kali menyesakkan, nilai inilah yang perlu kembali ditegakkan agar ruang sosial kita, baik nyata maupun maya tetap menjadi tempat yang damai, konstruktif, dan penuh rahmat.
Ditulis Oleh: Verdika Nafiunnas, S.Ag., M.Pd.
- Alumni Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor
- Dosen Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya & Pembimbing Umroh Samira Travel
Editor : Amal Jaelani