Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Akademisi,
Ketua Litbang DPP Amphuri
SETIAP kali musim haji tiba, ada satu kalimat yang berulang-ulang terdengar dari mimbar, berita, hingga grup keluarga: “Biaya haji naik lagi.” Tapi jarang ada yang bertanya dengan nada lebih dalam: “Ke mana sebenarnya uang haji itu mengalir?”
Baca juga: Dari Queens ke Dunia: Catatan Jumat untuk Inspirasi Cendekiawan Muda Muslim
Pertanyaan itu seperti gema yang lama tak dijawab dengan tuntas. Padahal, di balik angka-angka besar dana haji (lebih dari Rp160 triliun) tersimpan sebuah amanah yang jauh lebih berat dari sekadar perhitungan ekonomi, yaitu: amanah kepercayaan umat.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji sejatinya lahir untuk menjawab kebutuhan itu. Negara ingin memastikan bahwa dana umat tidak hanya aman, tapi juga memberi nilai manfaat.
Maka dibentuklah BPKH, badan pengelola yang katanya “mandiri”. Tapi kata “mandiri” dalam praktiknya ternyata tidak semandiri yang dibayangkan.
Bayangkan sebuah lembaga yang harus menanam uang ratusan triliun, tapi keputusan strategisnya tetap harus seizin menteri, bahkan kadang menunggu lampu hijau dari birokrasi.
Ini seperti menyuruh sopir ngebut di jalan lurus, tapi tangan dan kakinya diikat. Aman? Iya. Tapi tidak akan pernah cepat.
Masalahnya bukan sekadar soal efisiensi, tapi juga soal arah. Dana haji ini bukan dana investasi biasa. Ia uang umat, uang yang dikumpulkan dari niat suci untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Maka ketika dana itu “diputar” untuk keuntungan, wajar umat bertanya: apakah keuntungan itu kembali ke jamaah, atau justru ke sistem?
Baca juga: Saatnya Tata Kelola Haji Berkelas Dunia: Integritas, Digital, dan Spiritual
Pasal demi pasal dalam UU 34/2014 seolah berhenti di level pengawasan teknis, bukan filosofi pelayanan. Tidak ada pasal yang secara tegas menjamin keterbukaan informasi ke publik tentang hasil investasi, distribusi manfaat, atau perhitungan biaya haji yang adil. Akibatnya, muncul jurang antara kepercayaan dan transparansi.
Negara sebenarnya sudah diingatkan: amanah tanpa transparansi itu hanya separuh iman. Dalam bahasa administrasi publik, itu disebut defisit kepercayaan. Dan di sinilah letak urgensi revisi undang-undang ini.
Revisi bukan sekadar mengganti pasal, tapi memperbarui cara pandang. Bahwa uang haji bukan milik negara, melainkan titipan umat yang dikelola oleh negara. Bahwa pengelolaan keuangan haji bukan urusan fiskal semata, tapi moral.
Kita memang tidak sedang membangun bank syariah dengan label ibadah (walau seseungguhnya jika membicarakan rencana pendirian Bank pun tak juga dilarang). Kita sedang menjaga makna suci dari sebuah perjalanan spiritual, yaitu haji, yang diakui atau tidak dalam praktiknya telah menjadi industri besar. Besar sekali. Bahkan banyak pihak kepincut ingin memanfaatkanya.
Mungkin inilah waktunya negara lebih jujur pada dirinya sendiri: apakah selama ini dana haji benar-benar menjadi alat pelayanan, atau sekadar instrumen fiskal terselubung?
Baca juga: Menguak Kinerja Industri Penyelenggara Haji dan Umrah Sebelum UU No. 14 Tahun 2025
Revisi Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji bukan hanya kebutuhan teknis, tapi momentum moral. Momentum untuk memulihkan makna “mandiri” dalam BPKH, memulihkan rasa percaya publik, dan menegakkan nilai amanah dalam tata kelola.
Karena di akhirat nanti, tidak ada yang ditanya berapa bunga deposito dana haji, tapi apakah amanah itu sudah dijaga dengan benar. (Bersambung ke Seri 2: “Pasal yang Bisu: Ketika Hukum Tak Lagi Relevan”).
Editor : Alim Perdana