Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
ANDAI janji itu benar-benar terlaksana, maka kita semua akan menyaksikan bahwa Indonesia sedang memasuki babak penting dalam sejarah reformasi ekonominya. Karena pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menegaskan akan ada “penangkapan besar-besaran” terhadap mafia penyelundupan, dan bahwa ia “tidak peduli siapa di belakangnya”, adalah harapan besar rakyat Indonesia yang selama ini hanya menjadi mimpi di siang blong. Tentu kita semua bukan hanya mendoakan tetapi juga mendukung 1000 persen.
Baca juga: Diskresi: Memahami Logika Hukum dalam Kasus Kuota Haji Tambahan 2024
Selama bertahun-tahun, praktik penyelundupan menjadi penyakit lama dalam tubuh ekonomi nasional. Merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun, menggerus daya saing industri, dan memperlebar jurang ketimpangan.
Dalam industri tekstil, misalnya, asosiasi pelaku usaha menyebut sekitar 28.000 kontainer barang impor ilegal masuk setiap tahun. Itu semua yang menyebabkan hilangnya lapangan kerja, turunnya kapasitas produksi nasional, dan matinya pelaku industri kecil yang tak sanggup bersaing dengan barang berbandrol miring hasil penyelundupan.
Dari sudut pandang kebijakan publik, langkah “bersih-bersih” ini menyangkut reformasi kelembagaan, memperkuat tata kelola fiskal dan perdagangan agar birokrasi tak lagi menjadi bagian dari rantai penyimpangan.
Sejumlah teori klasik, dari Douglass North hingga Elinor Ostrom, menyebut keberhasilan reformasi sangat ditentukan oleh credibility of commitment atau sejauh mana pemerintah mampu membuktikan keseriusannya menegakkan aturan tanpa pandang bulu.
Namun, sejarah reformasi di negeri ini juga menghasilkan pengalaman bahwa: keberanian sering kali berhenti di tengah jalan. Banyak “gerakan bersih-bersih” yang digelorakan sebelumnya yang kemudian berubah hanya menjadi slogan.
Ada yang tersandera kepentingan politik, ada pula yang tersandung oleh sistem hukum yang lemah. Bahkan yang tragis, Gerakan tersebut ternyata hanya pencitraan. Karena itu, kita semua rakyat Indonesia wajar jika bersikapnya masih hati-hati.
Dalam hati bertanya “Benarkah?”, sambil berdoa “Semoga Benar-Benar Dilaksanakan”. Tetapi bila langkah ini benar-benar dijalankan, ada tiga prasyarat penting yang harus dipenuhi.
Baca juga: Pesantren Bangkit dari Guncangan
Pertama, penegakan hukum yang berbasis bukti, bukan persepsi. Operasi besar-besaran hanya akan berhasil bila didukung data forensik, audit digital, dan sinergi antarlembaga. Yaitu antara Bea dan Cukai, Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Perdagangan, dan PPATK.
Kedua, perlu segera dilakukan reformasi struktural di tubuh birokrasi. Rotasi pejabat, transparansi kinerja, serta perlindungan bagi pelapor pelanggaran harus dijalankan bersamaan. Tanpa itu, mafia lama hanya akan berganti wajah. Apalagi jika struktur birokrasinya tidak dirombak. Karena bisa jadi justru di birokrasi itu sendiri sumber masalahnya.
Ketiga, manajemen risiko terhadap industri. Penutupan jalur impor ilegal tentu akan memengaruhi rantai pasok. Pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan kelangkaan atau lonjakan harga bagi konsumen.
Dari sisi moral publik, langkah ini sesungguhnya memiliki makna lebih dalam. Mengapa? Karena Langkah ini adalah upaya memulihkan kepercayaan rakyat terhadap negara. Dalam masyarakat yang masih dihantui ketidakpastian hukum, keberanian menindak “siapa pun di belakangnya” bisa menjadi contoh keteladanan yang jarang dilakukan.
Namun demikian, keberhasilan langkah ini tak bisa hanya digantungkan pada figur menteri. Dibutuhkan ekosistem yang menumbuhkan integritas: yaitu sebuah sistem digital yang transparan, mekanisme audit publik yang berintegritas tinggi, dan peran masyarakat sipil dalam mengawasi jalannya kebijakan.
Baca juga: Whoosh, Kecepatan yang Membingungkan
Andai janji itu benar-benar dilaksanakan, maka hasilnya akan lebih dari hanya soal peningkatan penerimaan negara. Tapi akan menjadi revolusi senyap membangun budaya baru di tubuh birokrasi bahwa kekuasaan bukan untuk dilindungi, tapi untuk diawasi.
Dan bila suatu hari nanti publik benar-benar melihat bahwa pejabat tinggi, pengusaha besar, atau aparat negara bisa ditindak tanpa pandang bulu, maka mungkin kita bisa berkata dengan bangga: Indonesia sedang tumbuh menjadi negara yang menegakkan hukum bukan karena tekanan, tetapi karena keyakinan. Dan tentru saja ini dibutuhkan dukungan penuh seluruh rakyat.
Itulah harapan besar di balik satu kalimat sederhana: “Saya tak peduli di belakangnya siapa.” Andai janji itu benar-benar diwujudkan, maka bukan saja akan membersihkan pelabuhan, tetapi juga menyucikan nurani bangsa dari kebiasaan menutup mata terhadap ketidakjujuran.
Editor : Alim Perdana