Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
JALANAN lagi-lagi jadi ruang sidang. Parlemen sudah ada, kursi sudah banyak, mikrofon sudah tersedia. Tapi suara rakyat entah bagaimana tetap harus menyeberang ke aspal. Dari Jakarta, Kathmandu, sampai Paris.
Baca juga: Saatnya Presiden Prabowo Melengkapi Kabinetnya dari ICMI
Jujur saya harus katakana bahwa tadinya saya kira hanya di Indonesia yang jalanan bisa “memanggil” pemerintah. Rupanya tidak.
Prancis yang katanya sudah ratusan tahun berlatih demokrasi pun kembali memilih metode ini. Yaitu: memblokir jalan, membakar tong sampah, melawan polisi. Dan Gerakan ini mereka namai: Block Everything. Sebuah nama Gerakan jalanan yang mirip judul film, keren, menarik, dan instagramable.
Ya, block everything. Segalanya diblokir. Jalan raya, transportasi, bahkan kesabaran. Semua deblock.
Paris Membara
Pemicu aksi ini sebenarnya sederhana, yaitu karena ada kebijakan: pemotongan anggaran besar-besaran. Tampaknya Pemerintah ingin menghemat, tapi rakyat merasa dicekik. Dua hari libur nasional mau dihapus. Bagi rakyat Prancis, itu sama saja dengan mencuri kebahagiaan.
Maka ratusan ribu orang turun. Paris lumpuh. Lyon panas. Bordeaux kacau. Lalu ratusan orang ditangkap. Perdana Menteri baru, Lecornu, dapat hadiah tak terlupakan: hari-harinya jadi perdana menteri diiringi gas air mata.
Ini bukan pertama kali rakyat Prancis “mengajar” pemerintah di jalanan. Tahun 1968, mahasiswa Paris mengguncang dunia dengan aksi besar. Awalnya soal reformasi pendidikan, ujung-ujungnya menumbangkan otoritas Presiden Charles de Gaulle.
Dari situlah lahir istilah bahwa ketika Prancis batuk, Eropa bisa ikut pilek. Kini, 57 tahun kemudian, jalanan Paris masih punya tenaga yang sama.
Kathmandu Bergejolak
Beberapa hari sebelumnya, Nepal sudah keburu panas. Inflasi naik, bahan bakar langka, politik kacau. Jalanan Kathmandu jadi lautan manusia.
Di sana pun sama. Awalnya mahasiswa. Lalu buruh ikut. Kemudian oposisi politik tak mau ketinggalan. Semua turun. Semua bicara dengan cara yang sama: protes massal. Bahkan sangat brutal, dan tak tega saya menuliskan kisahnya.
Jakarta Juga Tak Mau Ketinggalan
Indonesia? Tentu punya cerita. Akhir Agustus lalu, jalan-jalan di banyak kota penuh demonstran. Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan lain-lain.
Baca juga: Jejak Panjang ICMI: Dari Soeharto, Habibie, Hingga Harapan di Era Prabowo
Isunya berlapis. Dari ekonomi sampai hukum. Dari subsidi sampai kebijakan politik. Dari tunjangan DPR yang dianggap fantastis hingga kredibilitas para pejabat publik.
Bahkan dari celometan pejabat publik hingga korupsi yang dinilai sudah sangat merajalela. Semua melebur dalam satu wajah: keresahan. Kekecewaan.
Koordinasinya? Jangan bayangkan lewat spanduk atau rapat akbar di kampus. Cukup lewat WhatsApp, Telegram, dan media sosial. Itu sudah cukup membuat ribuan orang bergerak di hari dan jam yang sama.
Sejarah Indonesia sendiri sudah membuktikan: jalanan bisa menumbangkan rezim. Mei 1998, ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR, memaksa Presiden Soeharto turun setelah 32 tahun berkuasa. Itu sejarah besar, dan efeknya masih terasa hingga kini.
Benang Merah
Yang menarik adalah bahwa aksi massa di tiga negara dengan tiga latar belakang dan budaya yang berbeda ini ternyata polanya serupa, untuk tidak mengatakan sama. Apa itu:
- Ekonomi jadi pemicu utama.
- Mahasiswa dan buruh jadi motor.
- Media sosial jadi orkestra.
- Aparat jadi lawan sparing.
Saya jadi ingat analogi sederhana. Pemerintah itu seperti sopir bus. Penumpang akan duduk tenang selama bus berjalan wajar. Tapi begitu sopir seenaknya ngerem mendadak atau banting setir, penumpang pasti akan ribut. Kalau klakson tidak didengar, mereka bisa nekat membuka pintu darurat dan turun ramai-ramai ke jalan.
Baca juga: Menjewer Wakil Rakyat yang Lupa Rakyat
Pelajaran Berharganya?
Dari Paris ke Kathmandu, dari Jakarta ke Lyon, pelajarannya jelas, yaitu: rakyat lebih cepat bereaksi ketimbang pemerintah merancang narasi. Kalau pemerintah tidak peka, jalanan akan selalu jadi alternatif. Jalanan memang tidak nyaman, tapi di situlah suara lebih keras terdengar.
Dan, ini yang juga sangat penting: jangan harap media arus utama bisa “menenangkan.” Mengapa? Karena di era digital ini, satu unggahan video bentrokan lebih dipercaya ketimbang seribu konferensi pers.
Penutup
Saya jadi teringat, di setiap demo besar selalu ada orang yang membawa tulisan sederhana di karton: “Kami hanya ingin didengar.” Itulah intinya.
Dari Prancis yang penuh menara Eiffel, Nepal yang dikelilingi Himalaya, sampai Indonesia dengan Monas-nya. Mereka berbeda bahasa, berbeda agama, berbeda budaya.
Tapi keresahan mereka sama: ingin pemerintah mendengar sebelum memutuskan. Kalau tidak, ya siap-siap. Jalanan akan kembali jadi parlemen baru.
Editor : Alim Perdana