Kabinet itu seperti kapal besar. Nahkoda boleh hebat, layar boleh megah, tapi kapal hanya akan selamat sampai tujuan kalau awaknya lengkap dan paham arah. Presiden Prabowo sedang menyiapkan kapal itu. Tujuannya jelas: Indonesia Emas 2045. Lalu, siapa saja awak yang mesti ada di dalamnya?
Selama ini, kursi-kursi banyak diisi oleh perwakilan partai. Itu wajar. Politik adalah bahan bakar awal perjalanan. Tapi, untuk berlayar jauh, bahan bakar saja tidak cukup. Dibutuhkan peta, kompas, bahkan navigator yang tahu betul jalur laut internasional.
Baca juga: Jejak Panjang ICMI: Dari Soeharto, Habibie, Hingga Harapan di Era Prabowo
Di titik ini, cendekiawan Muslim dari ICMI punya tempat yang tepat. Mereka bukan kumpulan orang-orang pintar di ruang riset dan seminar saja. Mereka adalah penjelajah pikiran yang pernah membuktikan diri bisa membawa bangsa ini melintasi masa-masa transisi.
Saya teringat masa awal berdirinya ICMI pada 1990. Orde Baru saat itu mulai mencari cara merangkul umat Islam. Prof. BJ Habibie (sosok teknokrat brilian yang lama berkarya di Jerman) didorong Soeharto untuk memimpin wadah baru: Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia. ICMI pun jadi magnet. Ribuan intelektual Muslim, dari kampus hingga pesantren, berkumpul. Ada semacam euforia: umat Islam bukan lagi di pinggiran, tapi hadir di pusat wacana kebangsaan.
Lalu dari rahim ICMI lahir Bank Muamalat, sebagai pionir perbankan syariah. Lahir pula Harian Republika, sebagai corong intelektual Muslim moderat. Dua warisan itu adalah bukti konkret bahwa ICMI tidak berhenti di seminar, tapi berani turun ke gelanggang riil: ekonomi dan media.
Lalu, 1998 datang. Krisis moneter memporak-porandakan negeri. Rupiah ambruk, harga melonjak, demonstrasi tak terbendung. Di tengah situasi itu, Habibie (tokoh ICMI) mendadak jadi presiden. Banyak yang meragukan. Tapi justru di masa transisi itulah, sejumlah keputusan krusial lahir, yaitu: kebebasan pers, desentralisasi, hingga langkah awal menuju demokrasi yang kita nikmati hari ini.
Habibie mungkin presiden singkat, hanya 512 hari, tapi perannya ibarat jembatan emas dari otoritarianisme menuju demokrasi.
Semua itu memperlihatkan satu hal, yaitu: ketika intelektual Muslim diberi ruang, mereka bisa memainkan peran yang sangat strategis.
Itulah sebabnya, saya melihat sekarang pun momentumnya mirip. Bedanya, kali ini bangsa kita sedang menghadapi tantangan global: krisis energi, geopolitik yang panas, ketergantungan teknologi, hingga ancaman disrupsi AI. Semua itu bukan soal politik praktis belaka, tapi butuh otak strategis. Butuh orang-orang yang terbiasa berpikir jauh ke depan, menyatukan antara iman, ilmu, dan kebangsaan.
Baca juga: Menjewer Wakil Rakyat yang Lupa Rakyat
Di sinilah ICMI bisa hadir bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai tokoh, baik dari unsur parpol, NU, Mohammadiyah, kalangan professional, praktisi, akademisi maupun dari unsur militer. Dan, keunggulan ICMI adalah, ICMI punya ceruk unik, yaitu: rumah cendekiawan. Rumah orang-orang yang bisa merumuskan peta, yang bukan sekadar larut dan ikut arus.
Maka, ketika Presiden Prabowo bicara soal Indonesia Emas, ada satu pertanyaan yang menggelitik: siapa yang akan jadi “otak navigasi” kapal besar itu? Apakah cukup hanya dengan para politisi partai? Atau perlu dilengkapi dengan cendekiawan Muslim, yang bisa menjadi penyeimbang sekaligus penyegar ide?
Menempatkan tokoh ICMI di kabinet, pada akhirnya, bukan soal representasi. Tetapi itu soal kelengkapan kru kapal. Supaya layar tidak hanya kuat menantang badai, tapi juga tahu di mana pelabuhan akan disinggahi.
Dan sejarah sudah memberi contoh. Habibie, dengan segala pro-kontranya, pernah menunjukkan bahwa cendekiawan bisa memimpin di masa paling sulit. ICMI, dengan Bank Muamalat dan Republika, pernah membuktikan bahwa gagasan bisa menjelma menjadi institusi.
Baca juga: Refleksi dan Inspirasi Bernegara, Belajar dari Peristiwa 25–31 Agustus 2025
Hari ini, tentu saja tantanganya berbeda. Tapi kebutuhan akan gagasan tetap sama, bahkan lebih mendesak.
Apakah kali ini sejarah akan kembali memberi peran itu? Apakah Prabowo berani mengajak ICMI masuk ke ruang mesin kapal, bukan sekadar duduk manis di geladak penonton? Jawabannya akan menentukan, apakah ICMI kembali menjadi aktor, atau hanya catatan kaki indah di buku tebal sejarah Indonesia.
Penulis : Ulul Albab - Ketua ICMI Jawa Timur
Editor : Amal Jaelani