Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
ADA organisasi yang jejaknya begitu panjang dalam sejarah politik Indonesia, meski ia lahir bukan sebagai partai politik atau ormas massa. Namanya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).
Baca juga: Menjewer Wakil Rakyat yang Lupa Rakyat
Organisasi ini lahir pada 1990, di Malang. Ia bukan lahir dari suara jalanan, melainkan dari ruang gagasan para intelektual Muslim. Tetapi sejak hari pertama, ia sudah punya hubungan istimewa dengan negara. Kadang dekat sekali dengan pusat kekuasaan, kadang menjauh hingga nyaris tak terdengar.
Pasang surut itulah yang membuat perjalanan ICMI menarik: laksana sebuah kapal, kadang para penghuninya dipercaya menjadi nakhoda, kadang hanya duduk sebagai penumpang, bahkan pernah pula sekadar menunggu di dermaga.
Soeharto dan Masa Emas ICMI
Di era Soeharto, ICMI menjadi “anak emas”. Presiden yang selama dua dekade menjaga jarak dari umat Islam, tiba-tiba merangkul cendekiawan Muslim lewat wadah ini.
Dengan BJ Habibie sebagai motor, ICMI menjelma menjadi simbol rekonsiliasi antara Islam dan negara. Tokoh-tokohnya duduk di kabinet dan birokrasi. Habibie sendiri menjadi Wakil Presiden. Di masa ini, ICMI bukan hanya ormas, melainkan bagian dari mesin negara.
Habibie dan Transformasi Singkat
Ketika Soeharto jatuh, Habibie naik ke kursi presiden. Otomatis, ICMI seperti masuk langsung ke ruang kendali.
Reformasi politik, kebebasan pers, dan pemilu multipartai, semua lahir di tangan presiden yang juga ketua ICMI. Namun masa itu singkat. Seperti bunga yang mekar sejenak, Habibie turun hanya setahun kemudian. Pengaruh ICMI pun ikut redup.
Gus Dur dan Hubungan Tegang
Abdurrahman Wahid punya sikap berbeda. Baginya, ICMI terlalu identik dengan politik Orde Baru. Maka, hubungan pun renggang.
ICMI kehilangan akses ke pusat kekuasaan. Kadernya tetap ada di birokrasi, tapi berperan secara personal, bukan membawa nama organisasi. Untuk pertama kali, ICMI merasakan bagaimana rasanya menjadi tamu di rumah sendiri.
Megawati dan Masa Stagnasi
Di tangan Megawati, hubungan itu datar. Tidak mesra, tapi juga tidak bermusuhan. ICMI tetap ada, namun nyaris tak terdengar di istana. Masa ini bisa disebut stagnasi. ICMI jalan di tempat, menunggu momentum.
Baca juga: Refleksi dan Inspirasi Bernegara, Belajar dari Peristiwa 25–31 Agustus 2025
SBY dan Kebangkitan Moderat
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono naik, ada sedikit harapan. SBY punya kedekatan dengan kalangan cendekiawan Muslim, bahkan pernah tercatat sebagai bagian dari ICMI.
Beberapa kader ICMI masuk kabinet. Forum-forum kajian kebijakan pun melibatkan mereka. Tidak sebesar era Soeharto, tetapi cukup untuk membuat ICMI kembali relevan.
Jokowi dan Marjinalisasi
Di era Jokowi, ICMI terasa menjauh. Jokowi lebih banyak bertumpu pada jaringan partai politik dan profesional.
Tokoh ICMI masih ada di pemerintahan, tapi lewat jalur partai, bukan organisasi. Secara kelembagaan, ICMI nyaris tidak dianggap mitra strategis. Di masa ini, ICMI seperti penonton di kursi belakang: tetap hadir, tapi tidak di panggung utama.
Prabowo dan Harapan Baru
Kini Indonesia memasuki era Presiden Prabowo Subianto. Pertanyaan pun muncul: apakah ICMI akan tetap duduk di kursi belakang, atau mulai bergerak lagi ke depan?
Baca juga: Begini Kira-kira Ongkos Kerusuhan yang Harus Kita Tanggung
Prabowo punya gaya kepemimpinan berbeda. Tegas, nasionalis, tetapi sadar bahwa visi besar Indonesia Emas 2045 tidak cukup dijalankan dengan otot politik saja. Dibutuhkan juga otot intelektual, gagasan, dan kekuatan moral.
Di situlah peluang ICMI terbuka. Dengan jejaring intelektualnya, ICMI bisa memberi sumbangan di bidang pendidikan, teknologi, kesehatan, ekonomi umat, hingga tata kelola pemerintahan. Ia bisa kembali menjadi mitra strategis, bukan sekadar nostalgia.
Namun tantangannya besar. Generasi muda cendekiawan hari ini tidak otomatis merasa dekat dengan ICMI. Organisasi ini harus berbenah, merangkul era digital, dan membuktikan bahwa ia masih relevan. Jika tidak, ICMI hanya akan jadi catatan sejarah, bukan kekuatan masa kini.
Cermin untuk Masa Depan
Jejak panjang ICMI sejak Soeharto hingga Jokowi memberi pelajaran penting: terlalu dekat dengan kekuasaan membuatnya dicurigai, terlalu jauh membuatnya tak relevan. Jalan tengahnya adalah menjadi kekuatan moral dan intelektual: mendukung ketika benar, mengingatkan ketika salah.
Kini, di era Prabowo, sejarah memberi kesempatan baru. Apakah ICMI akan memanfaatkannya? Atau sekali lagi menjadi penonton dari kursi belakang?
Jawaban itu ada pada keberanian ICMI untuk bertransformasi. Bukan untuk mengenang masa emas, tetapi menyiapkan diri menyongsong masa depan bangsa. Karena sejarah panjang itu hanya akan bermakna jika ia diteruskan sebagai harapan baru untuk Indonesia Emas 2045.
Editor : Alim Perdana