Oleh Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri
TOPIK bahasan kali ini adalah tentang draft naskah RUU revisi atas UU No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh, untuk Pasal 5 (1) huruf d, yang merumuskan bahwa syarat untuk bisa diberangkatkan haji antara lain adalah “belum pernah menunaikan Ibadah Haji atau sudah pernah menunaikan Ibadah Haji paling singkat 18 (delapan belas) tahun sejak menunaikan Ibadah Haji yang terakhir.”
Baca juga: Logika Melegalkan Umrah Backpacker Adalah Logika yang Menyesatkan
Ketentuan interval waktu paling singkat 18 tahun bagi yang sudah berhaji, terhitung sejak hajinya yang terakhir, baru boleh berhaji kembali, dipersoalkan keadilannya.
Beberapa pihak menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk menunaikan ibadah, termasuk berhaji. Hak itu bukan hanya tentang hak spiritual, tetapi juga hak yang dijamin oleh konstitusi.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.”
Namun, sekali lagi disampiakan, bahwa rancangan perubahan atas Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang kini segera dibahas di parlemen itu masih menyisakan pasal kontroversial.
Dalam draf usul inisiatif DPR, Pasal 5 ayat (1) huruf d menyebut: syarat keberangkatan haji bagi jamaah yang sudah pernah berhaji adalah menunggu 18 tahun sejak keberangkatan terakhir.
AMPHURI Mengusulkan Interval 5 Tahun
Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) mengajukan usulan alternatif: interval cukup 5 tahun. Bukan 18 tahun. Argumentasinya jelas: adil, proporsional, dan realistis. Mengapa 5 tahun lebih masuk akal?
Pertama, prinsip keadilan dan kesetaraan hak warga negara. Membatasi 18 tahun sama saja memagari hak konstitusional jamaah.
Seorang muslim yang sehat, berusia 45 tahun, dan berhaji sekali, harus menunggu hingga usia 63 tahun untuk berhaji lagi. Padahal pada usia itu, kesehatan sering tidak memungkinkan. Dengan interval 5 tahun, hak warga negara tetap terjaga, tanpa mengorbankan kesempatan jamaah baru.
Kedua, realitas kuota haji yang dinamis. Indonesia kerap mendapat tambahan kuota dari Kerajaan Arab Saudi. Jika syaratnya 18 tahun, tambahan kuota berisiko terbuang karena terbatas pada jamaah baru.
Dengan 5 tahun, pemerintah lebih fleksibel memanfaatkan tambahan kuota, sekaligus mengurangi antrean panjang yang sudah mengular 15–30 tahun di banyak daerah.
Ketiga, dimensi kesehatan dan usia jamaah. Data menunjukkan rata-rata usia jamaah haji Indonesia di atas 50 tahun.
Menunggu 18 tahun membuat peluang berhaji kembali makin kecil. Interval 5 tahun memungkinkan jamaah yang sehat untuk kembali berhaji pada masa usia produktif.
Keempat, landasan teologis. Dalam fiqh, tidak ada larangan berhaji berulang kali. Bahkan, haji berulang termasuk ibadah sunnah yang bernilai pahala.
Baca juga: Merdeka dari Segala Bentuk Perbudakan Modern
Membatasi dengan angka 18 tahun bukanlah dalil syar’i, melainkan kebijakan administratif. Maka, pembatasan 5 tahun jauh lebih moderat, adil, dan sesuai maqid al-syar‘ah: menghadirkan kemudahan, bukan kesulitan.
Kelima, penguatan tata kelola. Dalam praktiknya, pembatasan 18 tahun justru menimbulkan masalah “kursi beku.” Jamaah yang sudah pernah berhaji mendaftar kembali, tetapi karena antrean 18 tahun, kursi itu menjadi tidak pasti.
Akibatnya, terjadi kebingungan administrasi dan potensi ketidaktransparanan. Dengan interval 5 tahun, sistem lebih sederhana, efisien, dan responsif.
Perspektif Proporsionalitas dan Social Equity
Dalam tata kelola publik modern, ada prinsip proportionality. Regulasi harus suitable (tepat guna), necessary (perlu), dan balanced (tidak berlebihan).
Interval 18 tahun terlalu panjang, tidak memenuhi prinsip itu. Interval 5 tahun justru lebih sesuai: masih memprioritaskan jamaah baru, namun tidak mengabaikan hak jamaah lama yang ingin berhaji kembali.
Prinsip lain adalah social equity. Pelayanan publik harus nondiskriminatif. Jamaah yang ingin mendampingi orang tua, pasangan, atau anaknya berhaji sering terhalang aturan 18 tahun.
Padahal dimensi sosial-spiritual haji sangat kental. Interval 5 tahun memberi ruang bagi jamaah untuk menjalankan fungsi sosial itu.
Baca juga: Menangani Dugaan Korupsi Kuota Tambahan Haji Dengan Tetap Menjaga Kepentingan Diplomasi
Kajian internasional menegaskan hal yang sama. Menurut Rane (2020) dalam Journal of Sociology, tata kelola layanan keagamaan menuntut keseimbangan antara pengawasan negara dengan otonomi masyarakat beragama.
Negara wajib hadir, tetapi tidak boleh mengekang secara berlebihan. Peters (2019) dalam German Law Journal menambahkan, prinsip proporsionalitas memastikan intervensi negara tidak melebihi kebutuhan yang nyata.
Menatap Indonesia Emas
Haji adalah ibadah. Menyangkut hak asasi, hak konstitusional, sekaligus hak spiritual warga negara. Mengatur boleh, tapi jangan berlebihan.
Memberi prioritas kepada jamaah baru wajib, tetapi jangan sampai mengunci kesempatan jamaah lama yang ingin kembali berhaji dengan niat tulus. Revisi UU Haji dan Umrah adalah momentum penting.
Mari menjadikannya regulasi yang adil, transparan, dan moderat. Bukan regulasi yang justru mempersulit umat.
AMPHURI sudah membuka ruang diskursus dengan usulan DIM ini. Kini giliran pemerintah dan DPR menimbangnya dengan bijak. Sebab di balik setiap angka, ada manusia, ada keluarga, ada niat suci, ada doa yang tak pernah putus.
Editor : Alim Perdana