Oleh: Ulul Albab
Pereview Ekternal Seminar Hasil Disertasi
Program Doktor FIA-UB
DI banyak instansi pemerintah, kita akrab dengan slogan “Kami Siap Melayani.” Poster, banner, bahkan kaos pegawai memamerkan komitmen itu.
Baca juga: Cermin Yang Tidak Sempurna
Tapi, di balik senyum ramah petugas loket, ada pertanyaan yang jarang dibahas: apakah birokrasi kita juga melayani pegawainya sendiri?
Sebuah penelitian doktoral oleh Fahriyah, yang diseminarkan hari ini, 13 Agustus 2025, di kampus FIA Universitas Brawijaya, mencoba menjawabnya lewat lensa Servant Leadership, gaya kepemimpinan yang menempatkan pemimpin sebagai pelayan, bukan penguasa.
Studi ini dilakukan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur (Disperpusip Jatim), sebuah lembaga vital dalam menjaga literasi dan arsip daerah.
Temuan yang Mengejutkan
Hasil penelitian menunjukkan Disperpusip Jatim unggul dalam dimensi Creating Value for the Community—orientasi kuat pada pelayanan publik dan memberi manfaat bagi masyarakat. Pemimpin dan staf sama-sama berfokus pada misi pelayanan.
Namun, dua dimensi Servant Leadership justru rendah: Empowering (pemberdayaan pegawai) dan Putting Subordinates First (memprioritaskan bawahan). Dengan kata lain, masyarakat mendapatkan layanan prima, tapi pegawai di dalam organisasi belum sepenuhnya diberdayakan atau diutamakan kebutuhannya.
Paradoks ini patut direnungkan. Bagaimana mungkin pelayanan publik bisa optimal jika penggeraknya sendiri merasa minim perhatian? Seperti kata pepatah, “Tak bisa menuang dari cangkir yang kosong.”
Dampak ke Layanan Publik
Pegawai yang tidak diberdayakan cenderung hanya bekerja sesuai prosedur, tanpa inisiatif atau inovasi. Mereka takut mengambil keputusan, khawatir salah, atau merasa kontribusinya tak berarti. Akibatnya, organisasi kehilangan potensi ide segar yang bisa memperbaiki layanan publik.
Padahal, Servant Leadership mengajarkan keseimbangan: melayani publik sambil membangun kekuatan tim internal.
Baca juga: Apresiasi Buat UB dari Alumni Angkatan 82
Pemimpin yang melayani hadir tidak hanya di meja pelayanan masyarakat, tapi juga di ruang internal, memastikan pegawainya berkembang dan punya ruang untuk bersuara.
Tantangan Struktural
Fahriyah mencatat bahwa keterbatasan anggaran, sarana-prasarana, dan jumlah SDM menjadi hambatan utama. Tekanan ini membuat fokus instansi lebih berat ke “menyelesaikan target” ketimbang investasi pada pengembangan pegawai.
Tetapi di sinilah kepemimpinan diuji. Pemimpin publik yang visioner tahu bahwa memperkuat pegawai adalah investasi jangka panjang yang akan meningkatkan kualitas pelayanan.
Menuju Birokrasi yang Sehat
Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasi paradoks ini: Pertama; Memberi ruang pengambilan keputusan. Bukan sekadar melatih pegawai, tapi juga mempercayai mereka memimpin proyek atau ide baru. Kedua; Meningkatkan kesejahteraan non-finansial.
Pengakuan, penghargaan, dan lingkungan kerja suportif sering kali lebih memotivasi daripada insentif materi semata.
Ketiga; Membangun budaya mentoring. Pemimpin senior membimbing junior, bukan hanya dalam hal teknis, tapi juga nilai-nilai pelayanan publik.
Keempat; Mengukur kinerja internal dan eksternal. Ukur bukan hanya kepuasan masyarakat, tapi juga keterlibatan dan kebahagiaan pegawai.
Birokrasi yang sehat adalah birokrasi yang melayani publik dan pegawainya sekaligus. Karena pelayanan publik yang prima lahir dari pegawai yang merasa dihargai, didengar, dan diberdayakan. Mungkin sudah saatnya slogan di dinding kantor diubah sedikit: “Kami Siap Melayani — Mulai dari Dalam.”
Editor : Alim Perdana