Umrah Mandiri, Bebas tapi Membahayakan

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab, Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI

BAYANGKAN ini, seorang jemaah lansia baru pertama kali pergi ke tanah suci. Ia berangkat sendiri, mengurus visa sendiri, pesan hotel via aplikasi, dan berharap bisa beribadah dengan tenang.

Tapi setibanya di Mekkah, hotelnya penuh (overbooked), dan ia tidak tahu arah Masjidil Haram, dan tidak ada yang bisa dimintai tolong.

Baca juga: Fenomena “Rangkap Jabatan” di Negeri Yang Sarat Kepentingan

Itulah potensi masa depan jika umrah mandiri dilegalkan begitu saja tanpa pagar-pagar regulasi yang ketat.

Wacana legalisasi umrah mandiri sedang menggelinding pelan tapi pasti di RUU baru soal Penyelenggaraan Haji dan Umrah.

Sepintas, kesannya modern. Ramah digital. Berbasis platform. Seolah memberi kemerdekaan kepada jemaah. Tapi, bukankah terlalu banyak kemerdekaan bisa jadi jebakan?

Mari kita buka satu per satu keranjang masalah yang bisa muncul jika skema ini dipaksakan legal:

1. Soal pengawasan

Jemaah mandiri tidak melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) resmi. Artinya, tidak ada standar layanan, tidak ada batas bawah kualitas hotel, tidak ada kepastian transportasi, dan yang paling menakutkan: tidak ada yang bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa.

2. Bimbingan ibadah

Umrah itu bukan jalan-jalan religi. Ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar ibadahnya sah. Kalau tak ada pembimbing, bisa-bisa thawaf-nya salah putaran, sa’i-nya lewat rute yang keliru. Atau cara menghitungnya keliru. Lalu siapa yang bisa menegur atau membimbing?

3. Risiko penipuan

Dunia maya penuh janji palsu. Agen visa abal-abal, calo hotel yang menghilang setelah transfer, tiket murah yang ternyata palsu. Tanpa perlindungan institusional, jemaah mandiri rawan jadi korban.

4. Urusan sistem

Indonesia punya sistem nasional yang bernama Siskohat dan Siskopatuh. Fungsinya banyak: dari validasi data, pengawasan visa, hingga pelacakan jemaah saat darurat. Jemaah mandiri bisa jadi tak masuk sistem. Lalu kalau hilang atau sakit, siapa yang tahu mereka ada di mana?

Baca juga: Reformasi Pendaftaran Haji Khusus, Sinergi Bukan Sentralisasi

5. Pukulan ke PPIU

Kalau semua boleh mandiri, penyelenggara resmi bisa megap-megap. Belum lagi jika negara atau BUMN ikut bermain sebagai operator tunggal sistem, ini malah mengarah ke monopoli yang berkedok kemandirian.

6. Soal keadilan

Dalam draft RUU disebut bahwa perlindungan, asuransi, bahkan pendampingan hukum hanya diberikan kepada jemaah yang ikut PPIU. Kalau umrah mandiri legal, berarti ada jemaah yang diperlakukan sebagai warga negara “kelas dua” dalam perlindungan negara. Bukankah ini diskriminatif?

7. Beban ke perwakilan RI di Saudi

Baca juga: BEM yang Membebaskan Diri: Antara Fragmentasi dan Kebangkitan Gerakan Mahasiswa

Saat terjadi masalah — kehilangan paspor, sakit, atau bahkan wafat — perwakilan kita di sana biasanya berkoordinasi dengan PPIU. Kalau semua mandiri, maka konsulat akan kelabakan: data tidak ada, tidak tahu siapa pendamping, tidak tahu jadwal kepulangan.

8. Hancurnya ekosistem

Umrah selama ini punya rantai ekosistem yang tertata: dari pelatihan manasik, tiket, hotel, transportasi, konsumsi, hingga perlindungan. Kalau skema mandiri dibuka liar, semuanya jadi parsial. Siapa yang mengatur kualitasnya?

Kita tidak anti-kemajuan. Digitalisasi, platformisasi, dan integrasi sistem itu mutlak. Tapi kemajuan harus berdampingan dengan perlindungan. Legalitas umrah mandiri boleh saja dibahas, tapi jangan kebablasan.

Jangan sampai nama “mandiri” jadi topeng untuk pembiaran negara terhadap warganya yang rentan. Jangan sampai kita memanen mudharat karena terlalu tergoda kata-kata “kebebasan”.

Kita ingin jemaah Indonesia ibadah dengan tenang. Bukan pergi dengan bebas, tapi pulang dengan kekecewaan.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru