DI TENGAH derasnya arus industri rokok nasional, satu nama mulai mencuat dengan cara yang berbeda: Djava. Sebuah merek rokok lokal dari Madura yang tidak datang dengan hingar bingar iklan atau jargon kosong, melainkan hadir melalui jejak yang sunyi namun berarti.
Ia tidak hanya menyulut tembakau, tapi juga menyalakan harapan. Dibalik nama ini berdiri seorang pria sederhana tapi visioner, Suhaydi.
Baca juga: Mas Wagub Emil Sebut Muslimat NU Turut Menjaga NKRI, Merawat Pancasila, Persatuan dan Kerukunan
Suhaydi lahir di Lombok, namun telah menjadikan Madura sebagai rumah, tanah pengabdian, dan titik tolak perubahan sejak lebih dari dua dekade lalu.
Pilihannya untuk menetap di Madura bukan keputusan bisnis semata. Suhaydi mengikuti cinta yang membawanya ke pulau garam, cinta pada seorang perempuan Madura yang kini menjadi pendamping hidupnya, dan cinta yang kemudian tumbuh untuk tanah dan masyarakat di sekitarnya. Dari tanah inilah Djava lahir, dan dari sini pula jejaknya mulai ditulis.
Nama Djava, dengan ejaan klasiknya, bukan sekadar permainan huruf. Ia adalah simbol. Simbol dari rasa hormat pada akar budaya Jawa-Madura, simbol dari kepercayaan bahwa yang lokal tak harus kalah pamor.
Ditengah dominasi produk-produk raksasa, Djava menampilkan wajah lain dari industri rokok: wajah yang bersahaja, membumi, dan penuh kepedulian.
Tidak seperti banyak merek rokok yang dibangun dengan pendekatan bisnis murni, Djava hadir dengan ruh. Ia tidak sekadar ingin dikenal, tapi ingin berarti.
Dari awal, Djava tidak hanya diarahkan untuk mencetak keuntungan, tapi juga untuk membuka peluang, memperkuat masyarakat, dan menanamkan nilai-nilai kebersamaan dalam setiap langkahnya. Dan itu bukan retorika.
Dibalik setiap batang Djava yang diproduksi, ada tangan-tangan anak muda Madura yang dulu nyaris kehilangan arah.
Banyak dari mereka kini bekerja di pabrik, tidak hanya menggantungkan hidup, tapi juga menumbuhkan harapan. Mereka tidak lagi harus merantau jauh demi sesuap nasi.
Djava membawa mereka pulang, lalu memberi mereka ruang untuk bertumbuh.
Tapi, kontribusi Djava tak berhenti pada soal pekerjaan. Justru, aspek sosial inilah yang menjadi nadi dari perjalanan merek ini. Dari hasil usahanya, Djava rutin menyantuni ratusan anak yatim, bukan hanya saat momen keagamaan, tapi sepanjang tahun.
Guru-guru ngaji yang selama ini bekerja dengan bayaran seadanya, kini menerima insentif rutin dari Djava.
Pondok-pondok pesantren yang perpustakaannya minim, diisi kembali dengan buku-buku berkualitas. Masjid-masjid yang hampir roboh, diperbaiki dan dihidupkan kembali.
Bahkan jalan-jalan desa yang tadinya penuh lubang dan debu, kini mulai mulus dilalui berkat kontribusi diam-diam dari Djava.
Di kampung-kampung sekitar, Djava juga membagikan bibit buah-buahan kepada warga. Bukan hanya bentuk sedekah, tapi investasi jangka panjang.
Baca juga: HIPMI Jatim Buka Pendaftaran Calon Ketua Umum Periode 2024-2027
Sebab Suhaydi percaya, jika setiap pekarangan bisa ditanami dan menghasilkan, maka setiap rumah punya potensi untuk mandiri. Filosofi ini sederhana tapi dalam: bantu warga menanam, agar kelak mereka bisa memanen sendiri.
Yang luar biasa, semua ini dilakukan Djava tanpa banyak bicara. Tidak ada baliho besar bertuliskan klaim kebaikan, tidak ada video viral berisi testimoni. Djava bekerja dalam diam, tapi hasilnya berdengung di telinga mereka yang merasakannya langsung. Justru di situlah kekuatan brand ini: ia tidak perlu berteriak untuk didengar.
Langkah bisnisnya pun tak kalah strategis. Hingga kini, Suhaydi telah mendaftarkan lebih dari sepuluh merek ke HAKI sebagai bentuk perlindungan kekayaan intelektual, sekaligus kesiapan untuk bersaing secara sah di ranah nasional.
Bahkan, Djava kini tengah menjajaki pasar ekspor. Bukan dengan mentalitas “asal kirim”, tapi dengan kesiapan kualitas dan keberanian membanggakan cerita lokal ke panggung global.
Dan cerita itu memang layak dibanggakan. Sebab Djava bukan hanya produk, tapi cerminan nilai. Ia bukan hanya usaha yang berkembang, tapi juga sistem yang memberdayakan. Djava tumbuh bersama masyarakat, dan masyarakat pun menjaganya. Relasi ini bukan relasi antara produsen dan konsumen, tapi antara keluarga besar yang saling menguatkan.
Dalam dunia bisnis yang kian dingin dan mekanis, Djava menghadirkan wajah alternatif: bisnis yang punya empati, industri yang punya hati. Membuktikan bahwa mencari keuntungan tidak harus mengorbankan nilai. Bahwa cuan dan kemanusiaan bisa bersanding, bahkan saling menopang.
Justru karena Djava dijalankan dengan pendekatan seperti inilah ia punya masa depan. Bukan sekadar karena kuat secara ekonomi, tapi karena kokoh secara moral.
Bagi Suhaydi sendiri, Djava adalah alat, bukan tujuan. Alat untuk mengangkat martabat, membangun kampung, dan menjembatani mereka yang selama ini hidup di pinggiran arus pembangunan.
Ia tidak sedang mengejar status sebagai “raja rokok lokal”, tapi sedang menulis lembar demi lembar kontribusi nyata yang akan dikenang jauh melampaui usia bisnis itu sendiri.
Kini, ketika Djava terus tumbuh, berkembang, dan menjelajah ke luar Madura, yang dibawa bukan hanya kualitas tembakau, tapi juga reputasi kemanusiaan.
Setiap batang yang dibakar menyimpan lebih dari sekadar rasa—ia membawa cerita tentang kerja keras, solidaritas, dan harapan.
Dalam bayang asap Djava, kita melihat jalan lain dari dunia usaha. Jalan yang mungkin lebih panjang dan berat, tapi justru lebih membekas.
Karena ketika sebuah merek mampu menjelma menjadi gerakan, menjadi pemantik perubahan sosial, maka ia tak lagi sekadar dagangan. Ia menjadi warisan.
Penulis : Holili, M.Ag
Asosiasi Pengusaha Muda Tembakau Madura
(APTMA)
Editor : Diday Rosadi