Obrolan Warung Kopi Tentang Fakultas Ilmu Komunikasi di Era AI

ayojatim.com

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Akademisi, Mantan Rektor Dua Periode di PTS yang Memiliki Fakultas Ilmu Komunikasi

PERISTIWA ini terjadi setelah Lebaran Idul Fitri tahun 2025 (tanggalnya saya lupa). Usai halal bi halal, saya diajak teman untuk nongkrong bersama para jurnalis yang meliput acara tersebut di sebuah kedai kopi di Surabaya. Obrolannya beralih ke hal yang menurut saya "luar biasa"—bukan politik atau bola, melainkan masa depan komunikasi.

Baca juga: Masih Wajibkah Haji di Tengah Antrean Panjang?

Yang hadir beragam: jurnalis senior media nasional, dua staf humas lembaga pemerintah, praktisi PR dari korporasi, beberapa mahasiswa Ilmu Komunikasi (yang saya kenal sebagai aktivis kampus), dan beberapa pengurus ICMI. Obrolannya cair namun mendalam.

"Sekarang bikin rilis bisa pakai AI. Bikin caption Instagram, sudah ada templat-nya. Bahkan presentasi bisa dirancang pakai AI. Kami ini, lulusan komunikasi, masih laku nggak ya?" tanya seorang mahasiswa sambil menyeruput kopi hitamnya.

Yang lain tertawa, namun kerisauan tersirat. Seorang jurnalis senior berkomentar:

"AI itu cepat, tapi dingin. Ia bisa menulis, tapi tidak bisa merasa. Bisa merangkai kalimat, tapi tak bisa menggugat kebijakan zalim."

Diskusi meluas. Pembahasan meliputi bagaimana ilmu komunikasi dulu diajarkan (teori klasik, PR model Grunig, komunikasi massa versi 70-an), sementara dunia kini bicara algoritma, big data, dan disinformasi digital.

Seorang staf humas lembaga pemerintah mengeluh: "Di kantor kami, kerjaan PR sudah separuh dibantu vendor AI. Tapi justru makin repot. Karena yang hilang bukan teknisnya, tapi sentuhannya."

Baca juga: Refleksi Jurusan Sastra Inggris dan Jepang di Era AI: Antara Tantangan dan Peluang

Praktisi Humas dari industri swasta menimpali: "Yang kami butuh bukan anak komunikasi yang jago ngomong. Tapi yang mengerti audiens, bisa mendengar keluhan netizen, mengerti kultur digital. Bukan cuma bisa buat konten, tapi juga bisa menjaga citra."

Dari obrolan itu, kesimpulannya: fakultas ilmu komunikasi tidak mati, tetapi butuh evolusi drastis.

Jika masih diajarkan membuat proposal acara manual pakai Excel, mahasiswa akan bosan. Jika riset komunikasi hanya survei kuesioner Google Form, mereka akan tertinggal. Yang dibutuhkan: pengalaman praktis, kolaborasi lintas industri, dan penguasaan etika komunikasi di dunia digital yang semakin bising.

Mahasiswa harus tahu narrative design, social listening, dan influencer mapping. Dosen harus mendampingi, bukan hanya menguji teori. Kampus harus menjadi tempat lahirnya "juru bicara kemanusiaan", bukan "tukang endorse produk."

Baca juga: Mengulik Keunggulan Universitas Swasta, PTS Mana yang Unggul di Era Digital dan AI?

Di akhir obrolan, seorang mahasiswa bertanya: "Jadi kami tetap dibutuhkan ya, Pak?"

Saya menjawab: "Bukan cuma dibutuhkan. Tapi kalian akan sangat menentukan, jika tetap belajar menjadi manusia." Karena komunikasi itu soal menyentuh, bukan sekadar menjangkau. Soal menggerakkan, bukan sekadar mengiklankan. AI bisa meniru kata, tapi tak bisa meniru hati.

Semoga cerita ini menginspirasi pengelola fakultas ilmu komunikasi. Semoga berkenan mengundang kami untuk berdiskusi santai ala mahasiswa komunikasi, untuk merumuskan secara serius hal yang perlu dikreasikan agar lulusan komunikasi tetap relevan dan tak tergilas zaman.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru