Masih Wajibkah Haji di Tengah Antrean Panjang?

ayojatim.com

AKHIR-akhir ini muncul kembali pertanyaan dari sebagian umat Islam di Indonesia: apakah kewajiban haji masih berlaku, mengingat antrean keberangkatan yang semakin panjang dan bisa mencapai puluhan tahun?

Pertanyaan ini mencuat bukan tanpa sebab. Karena di tengah semangat beragama yang tinggi, banyak Muslim merasa terbentur oleh kenyataan teknis dan administratif yang tidak ringan.

Baca juga: Refleksi Jurusan Sastra Inggris dan Jepang di Era AI: Antara Tantangan dan Peluang

Didorong oleh keinginan mengedukasi dan menginspirasi, tulisan ini sengaja saya buat untuk memberikan pencerahan atas kegelisahan tersebut dengan menjelaskan kembali makna taklîf syar’i dalam ibadah haji, serta bagaimana seharusnya umat menyikapi tantangan ini dengan ilmu, adab, dan ketenangan hati.

Antrean Tak Menghapus Kewajiban

Dalam fiqih klasik, kewajiban haji ditetapkan bagi Muslim yang istitha’ah. Kata istitha’ah ini merujuk pada kewajiban haji bagi setiap muslim yang mampu. Baik mampu secara fisik, finansial, maupun keamanan perjalanan.

Di era sekarang, dimensi kemampuan administrative (termasuk kuota, visa, dan sistem antrean) menjadi bagian penting dalam interpretasi istitha’ah.

Maka pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang tidak boleh dianggap remeh. Justru semangat dari pertanyaan tersebut harusnya menggugah negara (pemerintah) untuk mencarikan solusinya, karena dalam regulasi kita, penyelenggaraan dan pelayanan perjalanan haji diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Dan saat ini sudah jutaan ummat yang mampu secara fisik, finansial, tetapi “tidak mampu” menentukan kapan berangkat karena ditentukan oleh system quota.

Tetapi jika kita merujuk pada fiqih tentang haji, maka mayoritas ulama, termasuk para fuqaha kontemporer dari Majma’ al-Fiqh al-Islami (OKI), tetap menyatakan: antrean panjang bukan alasan gugurnya kewajiban haji. Yang berubah hanyalah waktu pelaksanaannya, bukan substansi perintahnya.

Dengan kata lain, jika seseorang sudah mampu secara finansial dan fisik, maka ia wajib mendaftarkan diri ke Kemenag, meski realitasnya ia baru akan berangkat puluhan tahun kemudian.

Mendaftar adalah Bentuk Kepatuhan

Dalam maqashid syariah, Islam menekankan niat yang serius dalam menunaikan perintah Allah. Ketika seseorang sudah mendaftar dan membayar setoran awal, maka secara hukum, ia sudah memasuki fase taklif syar’i atas haji. Bahkan, bila ia wafat sebelum keberangkatan, ahli warisnya bisa menggantikannya melalui badal haji.

Itulah makna firman Allah: “Dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah: 286) Maka, mendaftar haji adalah ekspresi keimanan, bukan sekadar memenuhi administrasi negara.

Taklîf syar’i atas haji adalah beban kewajiban agama yang dikenakan kepada seorang Muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni baligh, berakal, merdeka, dan memiliki kemampuan finansial serta fisik untuk berhaji.

Ketika seseorang sudah memiliki istitha’ah (kemampuan), maka ia terikat secara hukum syar’i untuk menunaikan haji, meskipun keberangkatannya baru dapat terlaksana bertahun-tahun kemudian akibat antrean panjang.

Baca juga: Mengulik Keunggulan Universitas Swasta, PTS Mana yang Unggul di Era Digital dan AI?

Dengan demikian, kewajiban haji tetap melekat dan tidak gugur, dan bila ia wafat sebelum berangkat, maka kewajiban tersebut tetap harus ditunaikan oleh ahli warisnya melalui badal haji.

Pelaksanaan Ibadah Haji Itu Kolektif

Fenomena antrean panjang haji di Indonesia sebenarnya mencerminkan tingginya gairah umat untuk menunaikan rukun Islam kelima. Ini patut disyukuri. Di saat sebagian bangsa lain sibuk mengejar dunia, umat Islam Indonesia justru berlomba-lomba menjadi tamu Allah.

Namun di sisi lain, ini juga menunjukkan perlunya edukasi fiqih sosial agar umat memahami bahwa haji adalah ibadah yang kolektif dalam pelaksanaannya, tapi individual dalam niatnya.

Tak semua yang mampu langsung bisa berangkat. Maka, penting bagi tokoh-tokoh agama, ormas, dan lembaga pendidikan Islam untuk memberi pencerahan secara holistik.

Perlu Reformasi Manajemen Haji

Tak bisa dimungkiri, sistem antrean yang panjang juga menjadi tantangan serius bagi pemerintah dan asosiasi penyelenggara haji. Perlu ada langkah reformasi manajemen haji yang berpihak pada keadilan, efisiensi, dan keberkahan.

Beberapa pendekatan yang layak dipertimbangkan antara lain: Pertama; Optimalisasi kuota tambahan melalui diplomasi bilateral. Kedua; Peningkatan layanan haji khusus sebagai alternatif berangkat lebih cepat bagi yang mampu.

Baca juga: Refleksi Ringan Tentang Jurusan Akuntansi dan Manajemen di Era AI

Ketiga; Edukasi haji sejak dini agar masyarakat tidak mendaftar karena “gengsi sosial,” tapi karena dorongan ruhani yang murni.

Rawat Baik-Baik Niat Untuk Berhaji

Dalam Islam, niat adalah ruh ibadah. Seorang Muslim yang mampu dan sudah berniat haji dengan serius, lalu mendaftar dan menanti giliran dengan sabar, maka sesungguhnya ia telah masuk dalam golongan mereka yang dijanjikan pahala besar.

Kesimpulannya, tidak benar bila ada anggapan bahwa kewajiban haji telah gugur di Indonesia hanya karena antrean panjang. Justru, inilah momen spiritual yang harus dihadapi dengan bijak: merawat niat, menyiapkan diri, dan terus berdoa agar Allah memberikan waktu terbaik menjadi tamu-Nya.

Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan kebangsaan, ICMI (setidaknya ICMI Organisasi Wilayah Jawa Timur, yang saat ini saya sebagai ketuanya) dan juga AMPHURI (yang saat ini saya sebagai ketua bidang litbangnya) insyaalloh akan terus mendorong pemerintah agar menghadirkan solusi strategis dan sistemik atas persoalan panjangnya antrean ibadah haji ini. Di saat yang sama, kami juga mengajak seluruh umat untuk senantiasa memperbanyak doa:

“Allâhumma yassir lanâ ziyârata Makkata wa Madînata li hajjîn wa ‘umratin bighairi kaddin wa lâ masyaqqatin ma’assalamati walbarokati wa bulûghil marâm bi rahmatika yâ Arhamar Râhimîn.”

Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI,
Ketua ICMI Jawa Timur

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru