Mengenal KH Muhammad Ahyad, Pendiri Pondok Pesantren Kebondalem Surabaya

ayojatim.com
KH Muhammad Ahyad. Foto/Dokumentasi Ponpes

Oleh: Mochammad Fuad Nadjib

PONDOK Pesantren Kebondalem, terletak di Jalan Pegirian, Surabaya, dekat kawasan religi Sunan Ampel, memiliki sejarah panjang dan peran penting dalam perkembangan pendidikan agama di Jawa Timur. Letaknya di ujung Kampung Kebondalem menambah pesona sejarah tempat ini.

Pesantren ini didirikan oleh KH Muhammad Ahyad, seorang ulama sekaligus pedagang asal Jawa Tengah. Nama KH. M. Ahyad sendiri baru dikenal luas setelah pondok pesantren ini berdiri selama dua generasi.

Konon, pesantren ini berdiri di atas tanah milik keluarga Mbah Sentono (atau Kiai Ageng Brondong), leluhur para bangsawan yang berkuasa di Surabaya, Sidoarjo, dan Pasuruan. Syarat menempati tanah tersebut adalah merawat makam Mbah Sentono dan keluarganya di Boto Putih, sekitar 500 meter dari lokasi pondok.

Meskipun tidak diketahui secara pasti kapan KH. Ahyad mendirikan pesantren ini, keterangan yang dapat diandalkan menunjukkan bahwa Pondok Kebondalem telah berdiri sejak masa kecil Kiai Ahmad Dahlan Ahyad (putra keempat KH. Ahyad dan penerus pesantren), yang lahir pada 23 November 1885.

Dalam mengembangkan pesantren, KH. Ahyad mendapat dukungan besar dari Haji Abdul Kahar, seorang saudagar kaya di Pasar Besar Surabaya, yang juga kakak dari istri pertama KH. Ahyad, Mardliyah.

Setelah wafatnya KH. Ahyad, kepemimpinan Pondok Kebondalem beralih kepada Kiai Ahmad Dahlan Ahyad. Nama ini sering disalahartikan sebagai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

KH. Achmad Dahlan.

 

Meskipun berbeda latar belakang, kedua tokoh ini sama-sama berperan penting dalam sejarah pergerakan bangsa. Kiai Ahmad Dahlan Yogyakarta dengan Muhammadiyah, dan Kiai Ahmad Dahlan Surabaya dengan Taswirul Afkar dan MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia).

Berdasarkan Pendaftaran Orang Indonesia jang Terkemoeka jang Ada di Djawa (arsip Belanda), KH. Ahyad awalnya belajar agama dari ayahnya sendiri. Kemudian, beliau menimba ilmu Nahwu, Shorof, dan Fiqih di Pesantren Kiai Kholil Bangkalan dan Pesantren Sidogiri Pasuruan (pada masa Kiai Mas Bachar).

Kiai Ahmad Dahlan Ahyad, bersama Kiai Wahab Hasbullah dan ulama lain yang mempertahankan sistem bermadzhab, mendirikan Madrasah Taswirul Afkar, dengan Kiai Dahlan sebagai direktur. Beliau juga pernah menjabat sebagai Wakil Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) di awal berdirinya organisasi tersebut. Namun, karena lebih fokus mengelola Taswirul Afkar dan Pondok Kebondalem, beliau mengundurkan diri dari struktur NU.

Di bawah kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan Ahyad, Pondok Kebondalem mencapai puncak kejayaannya, memainkan peran penting dalam sejarah pra-kemerdekaan, terutama dalam pendirian Taswirul Afkar dan MIAI. Banyak santri Pondok Kebondalem yang kemudian menjadi ulama terkemuka.

 

Di antara santri legendaris Kiai Dahlan adalah: Kiai Abdul Adhim Rungkut, Kiai Abdul Ghoni Rangkah (ayah Kiai Miftahul Akhyar, Rais Aam PBNU saat ini), dan Kiai Hasan Asykari (Mbah Mangli).

Kiai Hasan Asykari, dikenal sebagai sosok ulama karismatik, sederhana, dan penuh karomah. Saat menjadi santri di Kebondalem, beliau membantu Kiai Dahlan, termasuk mengisi bak mandi dan merawat anak-anaknya.

Kiai Ahmad Dahlan Ahyad wafat pada 20 November 1962 dalam usia 77 tahun. Kepemimpinan Pondok Kebondalem kemudian dipegang oleh Kiai Muhtar Faqih (menantu sekaligus ponakan Kiai Dahlan).

Sekitar tahun 1966, Kiai Muhtar menyerahkan kepemimpinan kepada Kiai Mujri Dahlan, sementara Kiai Muhtar mendirikan pondok sendiri dan melanjutkan majelis ta'lim yang sebelumnya dipegang Kiai Dahlan.

Kiai Mujri Dahlan memimpin Pondok Kebondalem dibantu oleh Kiai Hadi Dahlan (saudara Kiai Mujri, beda ibu) hingga wafatnya pada tahun 1991.

 

Terdapat perbedaan orientasi pendidikan antara generasi pemimpin Pondok Kebondalem. KH. Ahyad dan Kiai Dahlan lebih menekankan pendalaman agama dan baca tulis Arab, sementara Kiai Muhtar Faqih dan Kiai Mujri Dahlan menyeimbangkan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum, sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Pada masa penjajahan, ketika akses pendidikan formal terbatas, Pondok Kebondalem berperan sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakat awam.

Namun, setelah kemerdekaan dan meluasnya akses pendidikan, Pondok Kebondalem memberikan kesempatan bagi santri untuk juga menempuh pendidikan formal, dan sebaliknya, memfasilitasi mahasiswa yang ingin memperdalam ilmu agama.

Setelah wafatnya Kiai Mujri Dahlan, Pondok Kebondalem bertransformasi menjadi Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA), yang diasuh oleh Hj. Hani'ah (putri Kiai Mujri Dahlan), dibantu oleh putranya, A. Zawawi. TPA ini menyelenggarakan kegiatan belajar membaca Al-Qur'an, istighosah, Maulid Diba', dan praktik ibadah.

 

Perubahan ini mencerminkan adaptasi Pondok Pesantren Kebondalem terhadap perkembangan zaman, tetap mempertahankan perannya dalam memberikan pendidikan agama kepada masyarakat, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru