Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Ketua Litbang DPP AMPHURI
(Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umroh Republik Indonesia)
Akademisi Unitomo Surabaya.
KALAU orang pergi haji, biasanya kita ucapkan selamat, “Semoga mabrur.” Kalau profesor pergi haji, mungkin kita tambah: “Semoga disertasi hidupnya lulus dengan predikat mabrur”.
Baca juga: Cina Melarang AI di SD, Lalu Bagaimana di Indonesia?
Tapi kalau profesor sekaligus Ketua Umum ICMI ditunjuk sebagai Amirul Haj, apa yang harus kita ucapkan? Cocoknya mungkin, “Selamat mengemban amanah peradaban.”
Ya, karena Prof. Dr. Arif Satria bukan sekadar orang baik yang berangkat ke Tanah Suci. Beliau menjadi simbol: bahwa ilmu, iman, dan pelayanan umat bisa bertemu dalam satu nama. Penunjukannya sebagai Amirul Haj 2025, kalau benar, adalah kabar baik untuk siapa pun yang percaya bahwa agama tidak boleh jauh dari akal sehat dan etika publik.
Antara Haji dan Diplomasi
Ibadah haji itu ibadah massal. Tapi juga diplomasi akbar. Di sana, jutaan umat Islam dari berbagai bangsa akan melihat wajah Islam Indonesia. Bukan dari seminar atau jurnal ilmiah. Tapi dari cara jemaah kita antre, makan, mengeluh, bersyukur. Dan dari cara negara melayani mereka.
Maka ketika yang menjadi Amirul Haj adalah seorang intelektual publik, kami para cendekiawan ICMI Jatim ingin berkata: ini momen emas. Momen untuk menunjukkan bahwa kita tak hanya bisa bicara Islam wasathiyah di seminar, tapi juga mempraktikkannya di tenda-tenda panas Makkah.
Selama ini, penyelenggaraan haji sering jadi soal teknis: kuota, visa, katering, koper hilang. Jarang ada ruang kontemplasi. Tapi kali ini, semoga berbeda.
Baca juga: Perpres Pelindungan Jaksa, Indikasi dari Hadirnya Negara atau Kekuasaan yang Menguat?
Prof. Arif Satria dikenal sebagai pemikir sistemik, penyambung nalar dan nurani. Beliau bukan orang yang terbiasa berdiri di belakang meja kekuasaan, tapi yang berpikir dalam kerangka hijrah intelektual dan sosial. Maka kami yakin, jamaah pun akan merasakan pelayanan yang bukan sekadar logistik, tapi penuh ruh.
Kami dari ICMI Jawa Timur menitipkan harapan: Jadikan haji sebagai diplomasi akhlak Indonesia. Jadikan jemaah sebagai tamu Allah, bukan objek birokrasi. Jadikan tugas ini bukan sebagai status, tapi perbaikan atas kesemrawutan yang dulu-dulu.
Jadikan ini langkah untuk mempertemukan lagi ilmu dan agama, yang terlalu lama dipisahkan oleh sekat formalitas.
Dan satu lagi. Semoga haji tahun ini jadi ruang kontemplasi nasional: bahwa kita butuh pemimpin yang tidak hanya kuat di politik, tapi juga bersih dalam niat.
Baca juga: YouTube dan Tafsir, Ketika Ceramah Viral Picu Kontroversi
Dari Mina Menuju Indonesia Emas
Di Mina, orang tidur di tenda. Di Mudzalifah, orang berebut tempat. Di Arafah, orang menangis karena merasa kecil. Semoga para pejabat kita juga menangis di sana. Bukan karena jet lag, tapi karena ingat bahwa semua ini fana.
Kami percaya, Prof. Arif tahu itu. Dan kami doakan, beliau pulang bukan hanya membawa cerita. Tapi membawa energi baru untuk membenahi wajah umat, dari bilik akademik hingga lorong birokrasi.
Selamat bertugas, Pak ketum. Kami dari Jawa Timur ikut bangga, dan tentu saja… ikut mendoakan.
Editor : Alim Perdana