ARTIKEL ini bukan ajakan untuk berkiblat ke Cina. Tidak pula menyanjung berlebihan apa yang mereka lakukan. Artikel ini hanya mengajak untuk belajar dari pengalaman negara lain, demi antisipasi yang lebih baik bagi dunia pendidikan kita.
Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda: "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina." Sebuah metafora kuat tentang pentingnya belajar dari mana pun, demi kemaslahatan.
Baca juga: Perpres Pelindungan Jaksa, Indikasi dari Hadirnya Negara atau Kekuasaan yang Menguat?
Cina baru saja mengambil langkah tegas: siswa sekolah dasar dilarang memakai AI generatif untuk mengerjakan tugas. Bahkan, guru pun dilarang menggantikan perannya dengan teknologi pintar.
Dua pedoman nasional dikeluarkan pemerintah: satu soal pendidikan umum AI, satu lagi soal penggunaan AI generatif di sekolah.
Langkah ini tidak asal-asalan. Pemerintah Cina merancang kurikulum AI secara bertahap dan sistematis, dengan penekanan yang berbeda sesuai jenjang pendidikan.
Di SD, siswa diperkenalkan pada konsep dasar AI dan dibangkitkan rasa ingin tahu mereka, namun dilarang menggunakan AI generatif secara mandiri untuk mengerjakan tugas agar perkembangan kognitifnya tetap optimal.
Di tingkat SMP, siswa mulai mempelajari prinsip teknis dan aplikasi AI secara lebih mendalam, sementara di SMA mereka didorong untuk berpikir kritis dan berinovasi menggunakan teknologi ini.
Sebagai bagian dari kebijakan jangka panjang, mulai 1 September 2025, pelajaran AI akan diwajibkan di sekolah-sekolah Cina dengan minimal delapan jam pelajaran per tahun, baik sebagai mata pelajaran tersendiri maupun terintegrasi dalam kurikulum lain seperti sains dan teknologi informasi.
Tujuannya jelas: mendidik manusia yang tidak cuma akrab dengan teknologi, tapi juga bertanggung jawab dan kreatif. AI bukan untuk menggantikan guru, melainkan jadi alat bantu yang cerdas dan aman. Cina bahkan menyebut model pembelajaran baru: guru-siswa-mesin.
Bagaimana Indonesia?
Kita belum punya aturan seperti itu. Program Merdeka Belajar sudah mendorong digitalisasi, tapi bicara AI, kita belum punya arah yang terang. Belum ada panduan nasional, apalagi kurikulum wajib.
Padahal, generasi muda kita sudah pegang AI di tangan, melalui ponsel dan aplikasi. Kalau tidak segera diberi pegangan, bisa-bisa mereka memakai AI tanpa paham risikonya. Guru pun bisa tergoda jadi 'editor jawaban ChatGPT', bukan pendidik sejati.
Kondisi AI di Indonesia: Anak SD Sudah Memakai AI?
Berbeda dengan kebijakan Cina yang ketat mengatur penggunaan AI di sekolah dasar, realitas di Indonesia justru cukup berbeda. Anak-anak SD kita saat ini sudah banyak yang secara tidak langsung bersentuhan dengan teknologi AI, melalui ponsel pintar orang tua, aplikasi belajar online, bahkan chatbot dan alat bantu tugas berbasis AI yang bisa diakses dengan mudah.
Baca juga: YouTube dan Tafsir, Ketika Ceramah Viral Picu Kontroversi
Namun, sayangnya, belum ada regulasi atau pedoman resmi yang mengarahkan bagaimana penggunaan AI ini harus dikontrol dan diawasi di lingkungan pendidikan dasar.
Guru dan orang tua pun sering kali masih awam soal teknologi ini, sehingga pengawasan dan pendampingan anak-anak menjadi tidak maksimal.
Banyak anak yang memakai teknologi AI secara mandiri, kadang untuk mengerjakan tugas tanpa benar-benar memahami isinya. Ini tentu berpotensi mengurangi kemampuan berpikir kritis dan kreativitas mereka.
Sementara itu, di sisi sekolah, mayoritas institusi pendidikan dasar masih berfokus pada pengenalan komputer dasar dan digitalisasi administrasi, belum menyentuh literasi AI secara serius. Pelatihan guru terkait AI pun masih minim dan belum menjadi prioritas nasional.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun AI sudah merambah kehidupan sehari-hari, pendidikan formal di Indonesia belum siap sepenuhnya menghadapi era AI ini. Hal ini menjadi tantangan besar sekaligus peluang yang harus segera direspons oleh pemerintah, dunia pendidikan, dan masyarakat.
Mau ke mana kita?
Melihat langkah Cina yang sudah begitu terstruktur dan serius mempersiapkan pendidikan AI, kita pun harus mulai bertanya: Sudahkah kita punya peta jalan yang jelas untuk menghadapi tantangan dan peluang era digital ini? Jangan sampai teknologi justru mendahului kebijakan, sementara kita masih berjalan di tempat.
Baca juga: Mengurai Tantangan Haji 2025, Ketatnya Aturan Baru dan Jalan Tengah Bagi Indonesia
Berikut kira-kira beberapa Langkah strategis yang bisa diambil dalam konteks Indonesia, khususnya di sektor Pendidikan, menghadapi derasnya perkembangan AI.
Pertama, pemerintah perlu menyusun peta jalan pendidikan AI nasional. Bukan sekadar bicara teknologi, tapi juga nilai, etika, dan kerja sama manusia-mesin.
Kedua, guru harus dibekali. Bukan cuma pelatihan teknis, tapi juga refleksi filosofis: bagaimana mendidik di era AI tanpa kehilangan makna kemanusiaan?
Ketiga, pendekatan kita harus sesuai konteks. Indonesia bukan Cina. Infrastruktur berbeda. Kultur belajar pun beda. Maka, solusi kita harus lokal dan lentur.
Kalau Cina bilang: jangan biarkan AI menggantikan guru. Maka kita perlu bertanya: apakah guru kita sudah siap mendidik anak-anak di zaman AI?
Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Akademisi dan
mantan rektor Universitas Dr. Soetomo Surabaya
Editor : Alim Perdana