Ketika Pena Tak Lagi Membuka Pintu Rezeki

PHK Massal di Media Massa dan Lahirnya Angkatan Displaced Journalists

ayojatim.com
Foto ilustrasi: Denny JA

SUATU pagi di Jakarta, seorang jurnalis senior duduk di halte dengan map cokelat berisi surat PHK. Ia baru saja keluar dari kantor berita tempatnya bekerja selama dua dekade.

Di dalam map itu, ada nama besar medianya dan sisa gaji. Namun yang lebih berat adalah lembar tak tertulis: kehilangan makna. Ia bukan satu-satunya.

Baca juga: Panji Sosrokartono, Kakak Kartini yang Menyala dalam Diam

Apa arti PHK massal terhadap lebih dari 1.200 wartawan setahun ini—di media online, cetak, dan televisi? Dari Kompas hingga MNC Grup, dari Republika hingga Liputan 6, dari Jawa Pos hingga Tribun Grup, semua dalam satu koor yang sama: merumahkan wartawannya.

Pada musim dingin 2023, sebuah kafe kecil di Brooklyn menjadi tempat pertemuan sunyi. Tiga jurnalis duduk berdekatan, namun tak satu pun sibuk mengetik berita. Dulu, mereka bekerja di media raksasa. Kini, ketiganya telah kehilangan pekerjaan. Mereka menyebut diri mereka sendiri: "Displaced Journalists".

Itu bukan sekadar label. Itu adalah nama dari sebuah zaman baru. Zaman ketika pena kehilangan daya tawar. Ketika keahlian menyusun fakta dan narasi tak lagi menjamin penghasilan. Ketika algoritma menggantikan ruang redaksi.

Apa Itu Angkatan Displaced Journalists?

Displaced Journalists adalah generasi jurnalis yang kehilangan peran profesionalnya akibat gelombang perubahan struktural dalam industri media.

Mereka bukan jurnalis gagal atau tidak berbakat. Justru sebaliknya, mereka adalah generasi terbaik yang terlempar dari sistem karena profesinya tidak lagi “terbeli”.

Mereka menguasai reportase, kode etik, dan verifikasi. Namun kini pasar kerja tak lagi menyerapnya. Mesin lebih cepat dan lebih murah. Platform lebih kuat dan memonopoli.

Angkatan ini bukan satu-dua orang. Ini adalah fenomena global. Dari New York ke Jakarta, dari Delhi ke Buenos Aires, ribuan bahkan ratusan ribu jurnalis terdampak, dan jumlahnya terus bertambah.

Di Mana dan Kapan Mereka Lahir?

Angkatan ini lahir secara simbolik pada dekade 2020-an, meski kehamilannya sudah lama berlangsung:

- Pada 2018, BuzzFeed mulai melakukan PHK massal jurnalis.

- Pada 2020, pandemi mempercepat migrasi ke dunia digital.

- Pada 2022–2023, AI generatif seperti ChatGPT dan Bard mulai menulis artikel, ringkasan, dan analisis opini.

- Di Indonesia, sejak 2021, banyak media daring mengecilkan newsroom dan hanya mempertahankan content creator visual.

Tidak ada satu tempat yang melahirkan angkatan ini. Mereka lahir serentak di mana-mana: di ruang redaksi yang senyap, di surat keputusan PHK yang dingin, dan di notifikasi Slack yang berkata: “We’re letting you go.”
Mengapa Mereka Terlahir?

Karena dunia berubah.

1. Teknologi menciptakan ghostwriters yang tak bergaji. Mesin kini bisa menulis laporan pasar, berita politik, hingga ringkasan debat.

2. Model bisnis media ambruk. Iklan pergi ke Meta dan Google. Pembaca malas membayar paywall.

Baca juga: AJI, IJTI, dan PFI Tolak Program Rumah Bersubsidi untuk Jurnalis

3. Perubahan selera publik. Yang viral lebih penting dari yang benar. Yang cepat lebih penting dari yang cermat.

4. Institusi tak lagi sakral. Dulu, redaksi adalah pelindung. Kini, jurnalis bertarung sendirian di tengah badai algoritma.

Jurnalis bukan tak dibutuhkan, tapi jurnalisme sebagai institusi formal kini tergantikan oleh jurnalisme sebagai fungsi informal.

Bagaimana Mereka Bertahan?

Sebagian menyerah dan berpindah profesi menjadi penulis iklan, content creator, guru, atau bahkan penganggur. Namun sebagian lainnya, yang keras kepala dan setia pada makna kata, bertransformasi:

1. Membuka kanal sendiri: Substack, newsletter, podcast, atau YouTube—membangun kredibilitas personal.

2. Menggunakan AI sebagai mitra kerja, bukan musuh, untuk riset, mengatur data, dan membuat naskah awal.

3. Mengubah sudut pandang: dari jurnalis institusional menjadi narator independen, dari pengejar berita ke perenung makna.

Mereka sadar: redaksi mungkin mati, tapi kebenaran, cerita, dan nurani tak bisa dibunuh.

Apa Makna Angkatan Ini bagi Dunia?

Baca juga: AJI Surabaya Kecam Polisi yang Pukul dan Intimidasi Jurnalis Saat Meliput Demo Tolak UU TNI

Angkatan Displaced Journalists adalah cermin perubahan zaman. Mereka mewakili nasib profesi lain yang akan menyusul, seperti guru, dosen, analis, dan desainer yang kini hidup di bawah bayang-bayang disrupsi.

Namun di balik derita itu, tersembunyi peluang. Dulu, jurnalis tunduk pada agenda pemilik media. Kini, mereka bisa memilih agenda sendiri. Jika mampu membangun komunitas, kepercayaan, dan otoritas, mereka bahkan bisa lebih berpengaruh dari sebelumnya.

Displaced bukan berarti hilang. Kadang, kita harus dipindahkan agar menemukan rumah baru.

Epilog: Dari Pena ke Nurani Digital

Seorang jurnalis muda di Bandung pernah berkata setelah di-PHK: “Dulu saya menulis untuk halaman depan. Sekarang saya menulis untuk hati pembaca.”

Mungkin inilah peran baru mereka: bukan sekadar pencatat peristiwa, tapi penyala cahaya dalam kabut data. Bukan lagi bagian dari industri besar, tapi bagian dari kebangkitan suara-suara kecil yang jujur.

Mereka tak lagi punya kantor, tapi mereka punya suara. Dan suara itulah yang akan menyambut dunia baru—dengan nurani, bukan sekadar notifikasi.

Di tengah sunyi ruang redaksi yang kosong, pena-pena tua menari di atas puing harapan. Mereka menulis bukan lagi untuk bertahan, tapi untuk menyalakan cahaya di lorong zaman.

Angkatan Displaced Journalists atau Jurnalis yang Terlantar bukan akhir sebuah profesi, melainkan awal dari cara baru hidup dari kata-kata yang menyala, jika memiliki sumber penghasilan lain.

Oleh Denny JA
Jakarta, 4 Mei 2025

Editor : Alim Perdana

Wisata dan Kuliner
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru