Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMPHURI, Ketua ICMI Jawa Timur
"Kalimat itu seperti tamparan. Tapi bukan untuk siapa-siapa. Untuk diri sendiri".
KETIKA Dahnil Anzar, Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), bicara di media soal “menghentikan komunikasi yang berpura-pura”, saya kira bukan untuk menyindir orang Arab Saudi. Bukan juga untuk menyalahkan pejabat Kemenag. Itu seperti kalimat pengakuan. Jujur. Lugas. Dan mungkin, telat.
Kita ini sudah puluhan tahun menyelenggarakan ibadah haji. Tapi baru kali ini muncul lembaga baru, BP Haji, yang sejak awal sudah bilang “kami tidak ingin melanjutkan kebiasaan basa-basi”.
Tentu kita sambut baik. Tapi juga bertanya: apakah mungkin?
Tanggal 10 Juni lalu, Kepala BP Haji, Gus Irfan, sudah bertemu dengan Kementerian Haji dan Umrah Saudi. Pertemuan awal. Kick-off untuk haji 2026. Dan di situ, tampaknya, banyak yang harus dibenahi. Termasuk soal data jemaah, penempatan hotel, prosedur perpindahan Madinah-Mekkah, sampai soal penyembelihan dam.
Sebelumnya, Saudi sudah kirim nota diplomatik. Isinya: catatan-catatan soal pelaksanaan haji kita tahun ini. Saya dengar, isinya agak serius. Disampaikan tertutup. Tapi kalau sudah sampai ke nota diplomatik, maka ini bukan lagi masalah teknis. Ini masalah kepercayaan. Dan kepercayaan itu tidak bisa dibangun dengan basa-basi.
BP Haji dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto tak lama setelah ia mulai menjabat. Gagasan lama, tapi baru bisa dieksekusi sekarang. Tapi ada satu masalah besar: undang-undangnya belum direvisi. UU Haji masih menyebut bahwa pelaksana haji adalah Menteri Agama. Maka, BP Haji sementara ini masih seperti mobil tanpa plat—ada mesinnya, tapi belum bisa lari di jalan tol.
Makanya, revisi UU harus segera disahkan. Kalau tidak, ya akan terus begini: BP Haji ada, tapi tanggung jawab tetap di Kemenag. Seperti dua sopir di satu bus, yang sama-sama pegang setir.
Tapi benarkah semua ini hanya soal koordinasi? Hanya soal SOP? Saya tidak yakin.
Karena publik tahu, urusan haji ini sudah lama jadi lahan empuk. Mulai dari hotel, katering, transportasi, sampai dana talangan. Ya, dana talangan.
Saat ini, antrean haji reguler sudah mencapai 30–40 tahun di beberapa daerah. Tapi banyak orang bisa masuk lebih cepat. Ada yang pakai jalur “khusus”, ada juga yang hanya setor Rp 5 juta ke bank, lalu dapat nomor porsi. Yang penting punya slip setoran awal.
Lalu siapa yang bayar sisanya?
Bank. Dana talangan.
Apakah itu salah? Belum tentu. Tapi apakah itu membuat antrean menjadi semu? Sangat mungkin.
Karena haji seharusnya untuk yang mampu. Tapi sekarang, “kemampuan” bisa dimodifikasi. Dan akhirnya, antrean diisi oleh mereka yang sebenarnya belum siap. Maka mungkin perlu kita mulai membicarakan moratorium talangan haji. Minimal untuk ditinjau ulang.
Kita semua berharap haji 2026 akan lebih baik. Tapi kita juga tahu, memperbaiki sistem yang sudah berurat akar tidak cukup dengan niat. Butuh keberanian. Butuh kekuasaan yang penuh. Dan butuh kejujuran untuk mengatakan: “Kami juga dulu ikut berpura-pura.”
Kalimat Dahnil itu bukan pernyataan. Itu awal pertobatan.
Dan setiap pertobatan yang jujur layak didukung.
Editor : Alim Perdana