PERMASALAHAN Parkir di Surabaya memasuki fase krusial, pemerintah kota mencoba untuk menertibkan tapi mendapatkan pro dan kontra dari masyarakat.
Awal mula kegaduhan terjadi ketika Walikota menyegel sejumlah toko modern karena terbukti melanggar perda yang ada.
Beberapa respon masyarakat bermunculan, mulai dari menyayangkan akan langkah yang diambil walikota sampai yang mendukung adanya penertiban parkir liar yang selama ini ada.
Karang Taruna sebagai mitra pemerintah berharap Walikota Surabaya lebih tegas terhadap oknum yang mengatasnamakan se kolompok masyarakat tertentu.
Landasannya tentu kemaslahatan seluruh warga Surabaya tanpa terkecuali. Parkir liar muncul karena adanya lahan yang tak terkelola secara sistematis sehingga memunculkan sejumlah pungutan yang tidak resmi.
Oleh karena itu perlunya penegakan perda No 3 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perparkiran.
Penegakan Perda tentu dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada semua stakeholder khususnya dalam hal ini adalah para pelaku usaha yang memiliki lahan parkir, termasuk di dalamnya toko modern.
Ada dua skema parkir yang diatur pemerintah, yaitu parkir di fasilitasi lokasi usaha seperti toko modern, serta parkir tepi jalan umum (TJU). Di dalam perda di atur kewajiban mengurus izin penyelenggaraan tempat parkir demi terwujudnya standarisasi parkir mulai dari jukir, pelayanan dan keamanan.
Namun, hanya sebagian kecil lokasi usaha yang memiliki izin tempat parkir. Inilah yang membuat pengelolaan parkir di lokasi usaha masih semrawut karena tidak menerapkan standardisasi pelayanan parkir.
Karena kesemrawutan itulah akhirnya banyak pungutan tidak resmi dan mengakibatkan sejumlah kebocoran retribusi parkir.
Retribusi parkir yang seyogyanya dapat menunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk pendidikan, kesehatan dan fasilitas publik lain untuk masyarakat Surabaya harus berkurang karena adanya oknum tersebut.
Bayangkan saja, dari 865 toko modern hanya 30 yang memiliki izin parkir. Itupun di angka Rp.175.000 - Rp. 250.000 per toko per bulan, artinya jumlah kendaraan parkir yang terlapor di angka 50 per hari.
Dukungan pemerintah Kota Surabaya kepada pemilik usaha juga sudah ditunjukkan melalui perda 7 tahun 2023 yang menurunkan retribusi parkir dari semula 20% menjadi 10%.
Langkah pemkot Surabaya dalam menata izin tempat parkir menjadi solusi awal atas masalah menahun selama ini. Petugas parkir yang resmi diperlukan untuk menjaga keamanan serta kenyamanan konsumen pemilik usaha.
Petugas parkir bisa melibatkan warga sekitar toko ataupun pemuda karang taruna setempat untuk pemberdayaan masyarakat.
Pemilik usaha bisa membuat kesepakatan dengan petugas atas hak dan kewajiban supaya tidak memberatkan pemilik usaha.
Di dalam Perda diatur terkait parkir berbayar, pemilik usaha diperbolehkan untuk menarik parkir dengan petugas resmi. Bagaimana jika menggratiskan ? Perda juga telah mengakomodasi.
Artinya jika fasilitas parkir gratis adalah bagian dari pelayanan pemilik usaha, maka Pemerintah Kota juga bisa memberikan relaksasi kepada pemilik usaha di waktu-waktu tertentu.
Karang Taruna Kota Surabaya mengapresiasi keberanian Pemkot dalam menegakkan Perda penyelenggaraan perparkiran, tetapi mungkin treatment di lapangan sedikit kurang pas, sehingga memunculkan miss persepsi di masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan komunikasi yang humanis agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Konsistensi pengawasan dan penegakan hukum secara berkala diperlukan untuk bisa mewujudkan kondisi ideal yang kita harapkan bersama.
Kota ini dibangun bukan untuk mengorbankan siapapun, melainkan untuk melindungi semuanya, pengusaha dilindungi, pekerja dilindungi dan konsumen juga dilindungi. Mari jaga kota ini bersama demi kenyamanan, keamanan dan keadilan bagi seluruh warga Surabaya.
Oleh: Febryan Kiswanto
Ketua Karang Taruna Kota Surabaya
Editor : Diday Rosadi