SURABAYA – Peristiwa pengeboman yang mengguncang Kota Surabaya pada 13 Mei 2018 masih membekas dalam ingatan masyarakat, khususnya umat Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela (SMTB), salah satu lokasi yang menjadi sasaran serangan teror tersebut. Tujuh tahun berlalu, namun luka dan kenangan akan tragedi itu tetap hidup, menjadi momentum refleksi dan penguatan iman.
Pada Selasa malam (13/05/2025), Gereja SMTB kembali menggelar Misa Peringatan Peristiwa Iman yang diikuti dengan mimbar bebas dan doa bersama lintas iman. Acara ini menjadi wadah bagi umat dari berbagai latar belakang untuk bersama-sama mengenang dan mendoakan kedamaian.
Romo Alexius Kurdo Irianto, yang memimpin misa, menegaskan bahwa peringatan ini bukan sekadar mengenang tragedi, melainkan sebagai sarana memperkuat iman dan persaudaraan antarumat beragama.
“Setiap tahun kita merayakan ini untuk memperkuat, bahwa peristiwa ini menjadi sebuah peristiwa iman yang memperteguh persaudaraan, pengampunan, kerukunan, dan kedamaian,” ujarnya.
Misa tahun ini mengusung tema “Menanamkan Ingatan, Menumbuhkan Harapan.” Tema tersebut mengajak umat untuk tidak hanya mengingat peristiwa kelam sebagai tragedi semata, tetapi juga sebagai titik tolak untuk menumbuhkan harapan baru dan rekonsiliasi batin.
“Tujuannya merepetisi, meneguhkan bahwa peristiwa itu bukan tragedi. Tetapi sebuah peristiwa iman yang menyatukan kita semua," tutur Romo Alexius.
Harapan besar dari peringatan ini adalah agar umat dapat menumbuhkan pengampunan yang tulus, yang diyakini akan membawa dampak positif bagi masa depan.
“Mencoba membuahkan pengampunan. Karena kalau kemarahan, benci, tidak akan membuahkan apa-apa dan setiap peristiwa yang diingat itu membuka masa depan sebetulnya jika peristiwa itu membuat kita rekonsiliasi batin,” jelas Romo Alexius.
Pengeboman yang terjadi pada 13 Mei 2018 menimpa tiga gereja di Surabaya secara serentak, yaitu Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Serangan yang dilakukan oleh satu keluarga ini meninggalkan luka mendalam bagi para korban dan masyarakat luas.
Salah satu penyintas bom Surabaya, Fenny Suryawati, yang mengalami luka bakar serius di hampir seluruh tubuhnya, mengungkapkan bahwa bekas luka tersebut menjadi pengingat yang terus melekat.
“Kita jadi jelek, kalau melihat tangan kita, kita jadi ingat terus,” kata Fenny dalam sebuah wawancara mengenang peristiwa tersebut.
Meski trauma dan luka fisik masih dirasakan, peringatan tahun ini menunjukkan bagaimana masyarakat Surabaya mulai menggantikan rasa takut dan duka dengan semangat kedamaian dan persatuan.
Acara doa lintas iman dan mimbar bebas yang digelar di Gereja SMTB menjadi simbol kuatnya kerukunan antarumat beragama di Kota Pahlawan.
Editor : Alim Perdana