Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
DALAM kehidupan manusia, cinta terhadap duniawi sering kali menjadi tantangan terbesar dalam mencapai tujuan spiritual yang lebih tinggi. Berbagai bentuk kenikmatan dunia, seperti harta, keluarga, dan kekuasaan, sering kali mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap kehidupan.
Namun, dalam Surah Ali-‘Imran ayat 14-18, Allah SWT menegaskan bahwa segala kenikmatan dunia ini hanya bersifat sementara dan tidak sebanding dengan kenikmatan yang abadi di akhirat.
Artikel ini akan mengkaji ayat-ayat tersebut dari dua perspektif: pertama, dari tafsir Al-Qur'an dan kedua, dari sudut pandang psikologi modern, dengan tujuan untuk memberikan wawasan dan inspirasi bagi umat manusia dalam menghadapi godaan dunia dan mengarahkan diri menuju kehidupan yang lebih bermakna dan kekal.
Memahami Kenikmatan Duniawi
Surah Ali-‘Imran ayat 14 menyebutkan berbagai kenikmatan dunia yang tampak menggoda manusia, seperti cinta terhadap wanita, anak, harta, dan kemewahan dunia. Hal ini menggambarkan betapa kuatnya daya tarik dunia terhadap manusia.
Menurut teori psikologi, kecenderungan manusia untuk mengejar materi dan status sosial dikenal dengan istilah "materialisme" (Kasser, 2002). Materialisme ini berfokus pada pencapaian kekayaan dan kekuasaan sebagai sumber kebahagiaan, yang sering kali berujung pada ketidakpuasan yang mendalam karena sifatnya yang sementara.
Dalam tafsir Ibn Kathir, ayat ini mengingatkan bahwa segala bentuk kenikmatan dunia adalah ujian dan tidak ada yang kekal di dunia ini. Kenikmatan duniawi tersebut hanyalah tipu daya yang mengalihkan perhatian dari tujuan hidup yang lebih tinggi, yaitu mencapai keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di akhirat.
Oleh karena itu, manusia perlu menjaga keseimbangan dalam menjalani kehidupan, tidak terjebak oleh cinta dunia yang bisa memalingkan diri dari kehidupan yang lebih hakiki.
Menyadari Tujuan Sejati
Sebagai jawaban terhadap kenikmatan dunia, Allah menawarkan sesuatu yang lebih baik, yaitu surga yang penuh dengan kenikmatan yang lebih abadi dan tidak tergantikan. Ayat ini menunjukkan perbandingan antara kenikmatan dunia yang fana dan kebahagiaan yang hakiki di akhirat.
Sebagai penyeimbang, teori motivasi manusia menurut Abraham Maslow dalam Theory of Human Motivation (1943) menunjukkan bahwa setelah kebutuhan fisik terpenuhi, manusia cenderung mencari tujuan yang lebih tinggi dan lebih bermakna, seperti pencapaian potensi diri dan tujuan hidup yang lebih luhur.
Bagi umat Islam, tujuan tertinggi adalah keridhaan Allah yang dapat dicapai dengan menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran-Nya, yang pada gilirannya akan membawa kepada kebahagiaan yang abadi di surga.
Surah Ali-‘Imran ayat 15 mengingatkan bahwa tujuan hidup yang paling berharga adalah surga, yang memiliki segala kenikmatan yang tidak bisa disamakan dengan kenikmatan dunia.
Menjadi Pribadi yang Dirindukan Surga
Ayat-ayat 16 dan 17 menjelaskan tentang karakteristik orang-orang yang beriman dan bertakwa, yaitu mereka yang memiliki sifat-sifat seperti sabar, jujur, tunduk pada Allah, menafkahkan harta di jalan-Nya, dan memohon ampunan Allah dengan khusyuk.
Sifat-sifat ini merupakan refleksi dari ketahanan psikologis dan spiritual seseorang dalam menghadapi tantangan hidup. Teori ketahanan psikologis (resilience) mengemukakan bahwa individu yang memiliki ketahanan mental yang baik akan mampu menghadapi kesulitan hidup dengan lebih efektif dan positif (Masten, 2001).
Kesabaran (sabar) yang dimaksud dalam ayat ini merujuk pada kemampuan untuk bertahan dalam ujian hidup, baik dalam bentuk kesulitan material maupun emosional.
Selain itu, sifat "menafkahkan" harta di jalan Allah menunjukkan pentingnya tindakan altruistik dan dermawan sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, yang juga mendatangkan kebahagiaan psikologis (Dunn et al., 2008).
Selalu Sadar Bahwa Ada Allah
Ayat terakhir, yakni ayat 18, menegaskan tentang keesaan Allah dan mengingatkan manusia untuk senantiasa mengingat-Nya sebagai Tuhan yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Konsep ini bukan hanya mempertegas akidah tauhid dalam Islam, tetapi juga mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap kekuasaan dan kebijaksanaan Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam perspektif psikologi positif, kesadaran akan ketergantungan kita kepada kekuatan yang lebih besar sering kali memberikan rasa ketenangan dan kepastian dalam menghadapi masalah hidup (Seligman, 2002).
Kesimpulan
Surah Ali-‘Imran ayat 14-18 memberikan wawasan yang sangat penting bagi umat manusia tentang bagaimana menyikapi kenikmatan duniawi yang bersifat sementara dan mengalihkan perhatian dari tujuan hidup yang lebih mulia.
Kenikmatan dunia tidak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan yang abadi di akhirat, yang dijanjikan bagi mereka yang beriman, bertakwa, dan memiliki sifat-sifat positif seperti kesabaran, kejujuran, dan dermawan.
Dalam konteks psikologi, hal ini sejalan dengan teori-teori motivasi manusia yang menekankan pentingnya pencapaian tujuan hidup yang lebih tinggi dan lebih bermakna.
Oleh karena itu, umat Islam diajak untuk tetap fokus pada kehidupan spiritual yang akan membimbing mereka menuju kebahagiaan sejati yang tidak terputus oleh kematian.
Editor : Alim Perdana